Angka kemiskinan di Indonesia sejak 2006 memperlihatkan penurunan yang signifikan. Namun, penurunan ini tampak lambat di tahun-tahun berikutnya. Laporan Badan Pusat Statistik pada Maret 2015 lalu menunjukkan angka kemiskinan justru mengalami kenaikan. Penduduk miskin Indonesia saat ini bertambah 860 ribu orang dari 27,73 juta (10,96%) pada September 2014 menjadi 28,59 juta orang (11,22%) pada Maret 2015.
Pakar Kebijakan Publik UGM, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna, menilai pemerintah selama ini menggunakan definisi serta parameter kemiskinan yang lemah sehingga gambaran angka kemiskinan terlihat positif dibanding kenyataannya. Lemahnya definisi dan parameter kemiskinan ini pada akhirnya memengaruhi efektifitas pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan.
“Sekian lama pemerintah mendefinisikan kemiskinan hanya dari perspektif ekonomi,” katanya baru-baru ini.
Hadna mencontohkan pada tahun 2014 pemerintah mendefinisikan garis kemiskinan dengan penghasilan per bulan (per kapita) sebanyak Rp. 312.328 atau setara dengan USD $25. Garis kemiskinan ini masih lebih tinggi dari yang didefinisikan oleh Bank Dunia, yakni mereka yang berpenghasilan kurang dari USD $1.25 per hari. Padahal, persoalan kemiskinan tidak hanya terkait penghasilan yang rendah, tetapi juga ada persoalan akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Disamping itu juga persoalan ketimpangan antarkelompok, antargenerasi, maupun antarwilayah. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien gini (ketimpangan distribusi pendapatan) Indonesia yang naik pada 2011 menjadi 0,41 dibandingkan pada 2007, yakni 0,35. Hingga 2013 koefisien gini bertahan di angka 0,41. Koefisen gini 0 menunjukkan kesetaraan yang sempurna, sementara koefisien 1 menunjukkan ketimpangan yang sempurna.
Hadna menyayangkan selama ini definisi dan perameter kemiskinan hanya dilihat dari satu dimensi. Karenanya, tidak mengherankan apabila kebijakan dan program pengentasan kemiskinan selalu diarahkan pada penciptaan lapangan kerja. Pasalnya, logika berpikir yang diterapkan adalah bagaimana penduduk miskin mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
“Hal ini tidak salah, namun memahami persoalan kemiskinan mesti multidimensi. Kemiskinan di banyak tempat baik desa dan kota, Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa tidak lepas dari persoalan ketimpangan,” ” papar Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM ini.
Menurutnya, program-program pengentasan kemiskinan di Indonesia seyogianya memperhatikan langkah yang ditempuh dalam upaya mengatasi kemiskinan. Di banyak negara, aspek ketimpangan sudah dimasukkan dalam program pengentasan kemiskinan pada Sustainable Development Goals (SDGs). Poin kesepuluh SDGs mengamanatkan untuk mengurangi ketimpangan baik yang terjadi antarnegara maupun di dalam negara. Pertumbuhan ekonomi tidak cukup efektif untuk mengurangi angka kemiskinan sehingga dimensi pembangunan berkelanjutan perlu dilibatkan.
Setiap daerah bisa mengembangkan indikator atau parameter kemiskinan lokal yang mencerminkan kondisi riil di masyarakat untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan yang ada. Selain itu, bisa lebih mudah digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan di masing-masing daerah.
“Adanya indikator dan parameter lokal diharapkan membuat program pengentasan kemiskinan menjadi lebih tajam dan peka terhadap kelompok rumah tangga sasarannya,” harapnya.
Kendati begitu, dikatakan Hadna, pemerintah pusat harus menjadi fasilitator dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. Hanya saja, tindakan yang bersifat intervensi berlebihan memaksa daerah untuk menerapkan satu kebijakan yang sama di semua daerah harus dikurangi. Selain itu, ada koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antar kementerian sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan program.
“Jika pemerintah menargetkan angka kemiskinan pada tahun 2019 turun 8-7 persen, maka pemerintah perlu membangun definisi, parameter, penerapan program pengentasan kemiskinan yang disesuaikan dengan kondisi di tiap daerah, serta melakukan pembenahan dalam tata kelola,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)