Taman bunga Amaryllis milik Sukadi di Patuk Gunungkidul satu pekan yang lalu ramai didatangi banyak pengunjung. Namun, karena belum dikelola dengan baik dan tidak difasilitasi jalur pedestrian menyebabkan banyak tanaman yang rusak karena terinjak-injak oleh pengunjung. Padahal, bunga yang lebih dikenal sebagai lili hujan atau bunga bakung ini hanya mekar di awal musim penghujan. Sayang, apabila keindahan bunga ini tidak bisa dinikmati sementara waktu mekarnya bisa satu minggu.
Beberapa dosen UGM yang tergabung dalam UGM Guyub Rukun tergerak untuk membuat desain landscape taman milik Sukadi sehingga pada musim bunga para pengunjung akan menikmati keindahan taman dan mekarnya bunga tanpa merusak tanaman. Selain membuat landscape, para dosen UGM ini juga memberikan bantuan uang senilai Rp. 5 juta dari hasil patungan, yang rencananya digunakan untuk pembuatan jalan setapak untuk jalur para pengunjung. “Kita buat desain landscape, nanti ada jalan kecil, pakai batu, konblok atau semen, musim bunga tahun depan pengunjung bisa berjalan-jalan tanpa menginjak puspa itu,” kata Heru Marwata saat menyerahkan bantuan, Senin (30/11).
Menurut Heru taman bunga Amaryllis di Gunungkidul ini bisa didesain layaknya objek wisata bunga tulip di Belanda serta beberapa taman bunga di negara Eropa yang bisa dinikmati tanpa mengalami kerusakan saat dikunjungi. Namun, untuk mengerjakan landscape ini, kata Heru, pihaknya menggandeng beberapa ahli dari Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian UGM agar yang dibuat benar-benar memperhitungkan aspek estetika serta agronomi.
Siti Nurul Rofiqo Irwan, Ph.D., peneliti holtikultra dan desain taman dari Fakultas Pertanian UGM, setelah melihat langsung kondisi taman bunga Amaryllis milik Sukadi mengatakan taman bunga ini memang tidak disiapkan sebagai objek wisata yang bisa dikunjungi para wisatawan. Meskipun dikelola dalam skala rumah tangga, taman bunga yang dikelola sejak 2006 tersebut apabila dijadikan lokasi agrowisata oleh pemerintah kabupaten harus disediakan jalur bagi pedestrian serta fasilitas pendukung lainnya.
Pemerintah, kata Siti, perlu menangkap peluang banyaknya minat anak muda terhadap keindahan bunga Amaryllis. Hal ini cukup beralasan dengan banyaknya pengunjung yang datang menikmati keindahan bunga tersebut saat mekar.”Sakura di Jepang hanya mekar satu minggu, kita bisa menjadikan Amaryllis sebagai daya tarik untuk Gunungkidul, bisa juga bunga lainnya yang bisa tumbuh lain di daerah lain,” tuturnya.
Tidak sekadar sebagai agrowisata, kata Siti, nantinya taman bunga milik Sukadi ini bisa didesain sebagai arena edukasi bagi pengunjung, “Aktivitas bisa ditingkatkan, mereka bisa belajar menanam dan bisa membeli bibitnya,” katanya.
Sukadi, pemilik kebun, mengapresiasi bantuan yang diberikan para dosen UGM yang begitu peduli pada taman bunga miliknya. Ia berjanji akan memanfaatkan bantuan tersebut agar taman bunga yang ia kelola bisa dinikmati dengan nyaman di masa mendatang. Sukadi tidak menyangka jika bunga Amaryllis yang ditanam sejak tahun 2006 itu menarik minat banyak orang datang berkunjung setelah dipublikasikan di media sosial. “Saya juga tidak mengira bisa jadi heboh seperti ini, saya tahunya hanya menanam,” katanya.
Meskipun ditanam di area kurang dari satu hektar, menurut Sukadi, bibitnya diambil dari para petani yang biasanya membuang tanaman tersebut karena dianggap sebagai tanaman pengganggu. Oleh Sukadi, tanaman Amaryllis diambil dan dipelihara bahkan ia sudah terbiasa membeli tanaman tersebut dari petani dalam jumlah banyak. Setelah itu, bibit tanaman tersebut ia tanam di pekarangan rumahnya. Setelah tumbuh dan mekar, tanaman tersebut dijual dengan harga Rp. 7 ribu hingga Rp. 10.000 per pot tanaman. “Dari dulu saya memang suka kembang, saya sering beli kiloan ke petani lalu saya tanam lagi,” katanya.
Bagaimana taman bunganya yang rusak karena dipadati pengunjung dalam satu minggu terakhir ini? Sukadi mengaku tidak mempermasalahkannya. Justru, ia senang bila taman bunganya disukai pengunjung bahkan membuat heboh di media sosial. “Nggak apa-apa, biar meriah, biar isunya ganti, nggak politik terus,” katanya tersenyum. (Humas UGM/Gusti Grehenson)