Kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan pangan sangatlah rawan. Kerawanan tidak hanya bagi kelangsungan hidup generasi yang akan datang, namun juga mengancam kualitas sumber daya manusia. Menurunkan derajat kesehatan masyarakat dan tidak menutup kemungkinan memunculkan kriminalitas hingga mengganggu dan mengancam ketahanan nasional.
Karena itu, jika pemerintah menempatkan pangan sebagi pilar kebijakan yang strategis dalam kebijakan pembangunan nasional, maka perlu kiranya melakukan evaluasi mendalam atas kebijakan pembangunan. Kebijakan pembangunan pertanian dalam arti luas yang saat ini belum berhasil menyejahterakan rakyatnya. Sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita dengan konsep kedaulatan pangan, maka reposisi dan revitalisasi pembangunan pertanian pun perlu dilakukan dengan pemahaman yang komprehensif dan pendekatan multidimensi.
Sejalan dengan itu, Gubernur Lemhanas RI, Prof. Dr. Budi Susilo Supandji, DEA., mengatakan ketahanan pangan yang rapuh akan menimbulkan kerawanan sosial dan berdampak pada stabilitas nasional maupun eksistensi bangsa dan negara. Sebab, ketersediaan pangan di Indonesia dihadapkan pada permasalahan krusial dan kompleks dan saling terkait, mulai dari hulu hingga hilir.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 memperlihatkan laju penduduk Indonesia mencapai 1,421 lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk dunia atau 1,18. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka berdasarkan pengukuran laboratorium Lemhanas tahun 2014, ketersediaan pangan nasional sesungguhnya dalam kondisi tangguh atau dengan skor 3,8 dari skor 5.
Meskipun tangguh, kata Budi Susilo, kondisi geografi Indonesia sangat menyulitkan. Karena masalah ketersediaan pangan nasional tidak mudah untuk diselesaikan satu sektor saja.
“Dari 34 propinsi yang ada, sesungguhnya hanya satu propinsi dalam kondisi sangat tangguh dengan skor 4,46. Tiga propinsi dalam kondisi tangguh, delapan propinsi dalam kondisi cukup tangguh dan 16 propinsi kurang tangguh dan lima propinsi dalam kondisi rawan,” katanya.
Menjadi pembicara kunci seminar nasional “Pangan, Ketahanan Nasional dan Kesejahteraan Rakyat”, di Balai Senat UGM, Senin (7/12), Budi Susilo menandaskan kondisi tersebut menggambarkan bahwa ketersediaan pangan tidak merata. Secara umum di wilayah barat, seperti di Jawa dan Sumatra mengalami surplus beras, dan di beberapa propinsi timur mengalami defisit produksi beras.
“Sehingga perlu mendatangkan dari luar propinsi. Secara nyata sepertinya tinggal memindah saja, namun secara dagang nampaknya impor lebih murah, karena ongkos kapal lebih murah dan lain-lain. Karena itu permasalahan seperti ini perlu dipikirkan secara bersama antara perguruan tinggi, TNI, Hukum dan lain-lain,” tandasnya.
Seminar nasional dalam rangka Dies ke-66 UGM, selain mendiskusikan berbagai akar masalah pangan dan implikasinya terhadap kesejahteraan rakyat dan ketahanan nasional, juga berusaha memformulasi alternatif solusi masalah pangan. Hadir dalam acara tersebut Direktur Sustainability PT Great Giant Pineapple, Ruslan Krisno, Dekan Fakultas Pertanian UGM, Dr. Jamhari, yang membahas terkait ‘Politik Pembangunan Pertanian’ serta Prof. Dr. Susetiawan yang menyampaikan makalah berjudul ‘Bisakah Agro Sebagai Lokomotif Pembangunan Kesejahteraan Rakyat’.
Dr. Jamhari mengakui Indonesia masih kedodoran soal pangan. Hal ini terlihat dengan banyaknya komoditas pertanian yang diimpor. Kondisi ini masih ditambah dengan tuntutan pemenuhan kecukupan pakan, energi dan pemeliharaan lingkungan.
“Tentu permasalahan di pertanian akan menjadi semakin kompleks kalau tidak melakukan perubahan secara spektakuler,” katanya.
Karena itu, menurut Jamhari, jika pengelolaan pertanian masih sama saja, maka akan semakin menyulitkan. Padahal, kekayaan sumberdaya Indonesia sangat luar biasa.
“Kenapa pangan saja tidak cukup. Belum lagi kemiskinan, kehidupan petani seperti apa. Padahal konon cerita, Indonesia nomor dua dalam biodiversiti. Kekayaan alam kita nomor dua setelah Brazil dengan luasan dan bentangan yang besar sekali, tetapi kenapa masih banyak yang miskin”, ujarnya.
Karena itu, pembangunan pertanian harus terintegrasi dengan agrobisnis dan bisnis-bisnis lainnya, seperti agrowisata.
“Karena agrobisnis dalam trennya akan terus meningkat, tapi jika hanya fokus agricultur saja tentu turun. Maka, kedepan harus dikelola secara terintegrasi dengan sektor yang lain,”tambanya. (Humas UGM/ Agung)