Guru Besar Fakultas Filsafat UGM, Prof. Dr. Armaidy Armawi, M.Si., mengatakan sudah ada gejala munculnya apatisme terhadap Pancasila. Hal ini terlihat dari sikap sebagian anak bangsa yang cenderung tidak peduli lagi dengan nilai-nilai Pancasila. Seiring makin berkembangnya arus sekularisme dan hedonisme. “Sebagian masyarakat sudah lebih menyukai nilai-nilai materialistik dan hedonistik,” kata Armaidy Armawi dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar UGM yang berlangsung di ruang Balai Senat UGM, Selasa (15/12).
Tidak hanya terjadi pada sebagian masyarakat, Armaidy menuturkan para elite yang duduk di pemerintahan juga dinilainya tidak dapat mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam menjalankan penyelengaraan Negara sehingga hal itu menjadi alasan apatisnya masyarakat terhadap Pancasila. “Tidak ada satu kata dan perbuatan serta minimnya keteladanan di kalangan elite. Pancasila hanya dijadikan konsep yang dihafalkan bukan nilai-nilai yang harus diamalkan dan dipedomani karena mereka tidak mampu menyelami Pancasila,” terangnya.
Untuk itu, kata Armaidy, sudah saatnya harus dilakukan penguatan terhadap Pancasila sebagai dasar filsafat Negara dan landasan ideologis dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan mempelajari moral Pancasila melalui pendidikan yang dilandasi kepedulian agama, merekonstruksi budaya politik dengan menguatkan pilar-pilar kehidupan demokrasi yang berkeadilan dan berkeadaban serta membangun pemikiran intelektual dalam platform yang dilandasi nilai-nilai Pancasila.
“Sudah waktunya nilai-nilai Pancasila menjadi ukuran dalam setiap kebijakan dan peraturan penyelenggaraan Negara dengan mempertimbangkan parameter keadilan dan keadaban. Pemerintah dan penyelenggara negara wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, sebagaimana amanat konstitusi,” ujarnya.
Dalam pidato pengukuhan yang berjudul ‘Penguatan Pancasila di tengah arus sekularisme dan hedonisme’, Armaidy berpendapat sila pertama dari Pancasila harus dipahami dan dihayati dengan benar tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan beragama. “Kehidupan beragama mestinya merupakan kehidupan yang lebih dewasa karena ada pihak lain yang menghayati keberagamannya dengan cara yang berbeda,” katanya.
Sila kedua, menurutnya harus direnungkan secara mendalam akan makna kemanusiaan yang adil dan beradab, “Ketika nyawa tidak lagi diperhitungkan dalam berbagai kerusuhan dan teror, tentu sangat disayangkan,” jelasnya.
Selanjutnya, pada sila ketiga harus dipahami makna tentang kebangsaan ketika sekian banyak daerah hanya mementingkan dirinya sendiri dengan berbagai perda yang merugikan. Armaidy menambahkan, pada sila keempat Pancasila seharusnya dipahami tentang makna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan disaat ada kecenderungan para elit mau menang sendiri untuk menguasai iklim perdebatan dalam pengambilan keputusan.
Sila kelima, menurutnya, kita harus belajar banyak tentang makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ketika sebagian besar rakyat masih sulit memperoleh pangan dan sandang,”Sementara sebagian elite menghambur-hamburkan uang dan kekayaannya,”pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)