Belum lama ini muncul pro-kontra terhadap Jogja Expo Sekaten (JES) sebagai ganti Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS). Sebagian mengklaim JES tidak merepresentasi ruh PMPS yang sarat dengan nilai kultural dan religius. Di pihak lain ada tuntutan terhadap revitalisasi PMPS- antara lain melalui perubahan bentuk menjadi JES-agar tidak lapuk oleh zaman. Tetapi tidak ada klaim yang secara objektif dapat diterima karena tidak didukung argumentasi dan bukti empirik. Mungkin yang bisa dirujuk hanyalah pernyataan panitia penyelenggara tentang minimnya jumlah pengunjung dan kerugian yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal tersebut diungkapkan Dr. Janianton Damanik dari Puspar UGM.
“Karena itu melalui sebuah prasurvei Puspar UGM mencoba memperjelas opini, preferensi dan ekspektasi masyarakat pada JES. Sebagai survei pendahuluan dengan jumlah sampel terbatas (hanya 60) tentu hasilnya belum merupakan potret utuh fakta lapangan. Meski demikian hasil ini dapat memberi gambaran sekilas tentang apa dan bagaimana JES di mata masyarakat,” ujarnya.
Dituturkan, bagi masyarakat JES tidak sama dengan PMPS. Pendapat ini mungkin bisa dimaknai sebagai hasil penilaian masyarakat atau perubahan tampilan fisik JES yang sebelumnya tidak dimiliki PMPS. Jadi tidak heran jika hampir 50 persen responden mengatakan penyelenggara JES lebih menarik daripada PMPS. Meski demikian tampilan yang menarik tadi tidak otomatis menjadi magnet yang kuat, karena sebagian besar (77 persen) responden menginginkan JES dikembalikan seperti PMPS dulu
“Pendapat yang menginginkan agar JES dikembalikan ke bentuk PMPS konsisten dengan kesan yang diperoleh setelah mengunjungi expo tersebut. Kesan positif yang menonjol adalah rasa nyaman dan menyenangkan yang diberikan adalam JES. Tetapi kesan umum lebih menjurus negatif, misalnya menonjolkan urusan bisnis, mahal, tidak teratur, dan kurang memikat rakyat. Dari keempat item ini, kesan “pengutamaan kepentingan bisnis” dimiliki sebagian besar (27 persen) responden. Kesan tersebut selaras dengan opini masyarakat selama ini. Misalnya keluhan atas harga parkir dan tiket masuk yang tinggi, atau banyaknya stand yang menawarkan barang konsumsi mahal. Ini jelas tidak selaras dengan tujuan mereka untuk berkunjung ke PMPS,” tuturnya.
Diungkapkan, anggapan bahwa tujuan masyarakat ke JES untuk belanja barang jelas keliru. Terbukti hampir 48 persen responden tidak setuju dengan opini tersebut. Sebaliknya kedatangan mereka terutama adalah untuk rekreasi atau nonton pameran budaya tidak kecil jumlahnya yang hanya sekedar ingin tahun apa yang terjadi di JES. Diduga hal ini terkait dengan ingatan masa lampau mereka atas PMPS atau citra PMPS itu sendiri yang selalu sarat dengan pentas seni, budaya dan rekreasi atau hiburan.
“Karena itu kegiatan pameran dagang tidak begitu disukai oleh pengunjung JES. Boleh jadi hal ini dimaknai sebagai sikap penolakan mereka atas penyeragaman atraksi dan jenis kegiatan didalam setiap pasar malam. Preferensi mereka yang dominan adalah pentas seni, budaya, hiburan dan rekreasi. Sekali lagi, tampaknya disini masyarakat ingin menegaskan lagi konsistensi sikapnya yang mengharapkan JES tampil sebagai event yang berbasis aktivitas seni dan rekreasi. Bahkan pentas keagamaan yang dulu menjadi salah satu atraksi penting ternyata kurang diminati pengunjung,” jelasnya.
Dikemukakan, survei pendahuluan ini juga menggambarkan ekspektasi masyarakat atas penyelenggaraan PMPS 2006 nanti. Diharapkan bahwa untuk pameran dagang perlu dikurangi atau setidaknya tidak dijadikan prioritas dalam perayaan Sekaten. Masyarakat masih berharap terus agar pentas seni dan budaya serta hiburan ditempatkan sebagai prioritas utama dalam penyelanggaraan PMPS, terlepas dari nama yang diterakan pada pasar malam tersebut.
Ditambahkan, sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa apresiasi masyarakat terhadap pasar malam Seaten sebenarnya cukup tinggi. Lihatlah misalnya, disamping warga kota Jogja dan luar kota Jogja sendiri, sekitar 17 persen responden ternyata berdomisili di luar DIY dan sekitar 8 persen bahkan di luar Jawa. Agak sulit mengatakan hal ini terjadi, misalnya karena promosi JES semata, tanpa mengaitkan dengan citra PMPS yang selama ini sarat dengan pentas budaya dan hiburan yang memikat.
“Namun perubahan bentuk penyelenggaraannya dan logika-logika ekonomi yang membungkusnya, pelan namun hampir pasti, mengakibatkan masyarakat kehilangan orientasi. Kalau ini terus berlanjut, lambat laun masyarakat bisa tidak perduli dan lalu apa seterusnya. Karena itu perlu kajian lebih mendalam tentang produk, pasar dan promosi pasar malam Sekaten. Sasarannya jelas, yakni peta kebutuhan dan preferensi masyarakat terhadap kegiatan dalam JES. Atas dasar itulah substansi dan format penyelenggaraan JES atau PMPS yang tepat dapat didesain,” tegas pak Damanik. (Humas UGM)