YOGYAKARTA – Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang menimbulkan beban sosial masyarakat dan merugikan keuangan negara. Meski begitu, hukuman penjara yang dijatuhkan kepada koruptor ternyata tidak menimbulkan efek jera bahkan hukuman finansial yang dijatuhkan cenderung lebih berat pada koruptor yang melakukan korupsi dengan nominal kurang dari Rp 10 juta. Sebaliknya putusan hukuman finansial cenderung lebih ringan bagi terdakwa yang melakukan korupsi diatas 25 Miliar rupiah. Demikian yang mengemuka dari hasil riset yang dilakukan peneliti bidang ekonomi kriminalitas dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM kepada wartawan, Selasa (22/12).
Dr. Rimawan Pradiptyo, selaku ketua tim peneliti mengatakan sepanjang tahun 2001hingga 2013 sedikitnya ada 1.518 kasus yang melibatkan 2145 terdakwa yang ditangani oleh lembaga penegak hukum dan telah diputuskan hukumannya oleh Mahkamah Agung. Namun dari jumlah tersebut hukuman finansial yang dijatuhkan MA tersebut terkesan sangat berat pada terdakwa koruptor yang melakukan korupsi dibawah Rp 10 juta. “Terhadap pelaku koruptor, putusan yang diberikan, ibarat tajam di bawah, tumpul ke atas,” kata Rimawan.
Hukuman finansial yang dimaksud Rimawan merupakan gabungan dari putusan denda, biaya pengganti dan perampasan barang bukti yang dijatuhkan Mahkamah agung kepada terdakwa korupsi. Rimawan membagi lima kelompok koruptor berdasarkan skala korupsi yakni koruptor gurem (kurang dari 10 juta rupiah) , kecil (10 hingga -100 Juta rupiah), sedang (100 juta-1 miliar rupiah) , besar (1 miliar-25 milyar rupiah) dan kakap (diatas 25 milyar rupiah). Namun dengan jumlah 85 terdakwa dari kelompok koruptor gurem, total kerugian negara yang ditimbulkan adalah Rp 468 juta namun total hukuman finansial yang dijatuhkan oleh MA sebesar Rp 22,1 Milyar. Sebaliknya bagi koruptor kelas kakap yang berjumlah 104 orang dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 68 Triliunm, hukuman financial yang dijatuhkan oleh MA hanya Rp 700 miliar. “Hukuman finansial bagi korupsi gurem capai 47 kali lipat dari nilai kerugian negara, bandingkan hukuman bagi koruptor kakap yang hanya seperseratusnya saja dari nilai kerugian negara,” katanya.
Rimawan tidak menjelaskan lebih jauh apa yang menyebabkan hukuman finansial yang dijatuhkan kepada koruptor kelas kakap lebih ringan dibandingakan dengan koruptor kelas gurem. Rimawan juga menyebutkan, sepanjang 13 tahun tersebut, total kerugian negara yang dikorupsi oleh para koruptor nilainya mencapai Rp 107,14 Triliun namun total hukuman finansial yang dijatuhkan oleh MA hanya Rp 10,77 riliun. Padahal di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tuntuan jaksa sebelumnya mencapai Rp 45,84 triliun.
Berdasarkan hasil analisa korupsi dan hukuman yang diterapkan kepada koruptor, Rimawan mengatakan diperlukan inovasi jenis hukuman kepada koruptor dengan menciptakan efek reputasi negatif tidak cukup dengan hukuman penjara semata.
Menurutnya hukuman berbasis efek reputasi negatif bisa dilakukan dalam bentuk dicabutnya hak politik untuk dipilih sebagai politisi dan pejabat publik. Lalu koruptor juga kehilangan asses ke produk keuangan tertentu serta kehilangan akses bekerja di sektor formal. “Yang lebih penting perlu ada standarisasi penyebutan mantan koruptor di media massa,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)