Warna lokal Jawa banyak dijumpai dalam novel-novel Indonesia periode 1980-1995. Sebut saja novel berjudul Para Priyayi karya Umar Karyam, Canting karya Arswendo Atmowiloto, atau Ronggeng Dukuh Paruk tulisan Ahmad Tohari. Novel ini kental dengan suasana budaya Jawa, yang tampak baik dari gambaran latar tempat, kesenian, kepercayaan masyarakat, status sosial, bahasa daerah, atau penamaan latar waktu, tumbuhan, dan hewan.
“Pada tahun 1980-an dan 1990-an awal, novel Indonesia digairahkan oleh sesuatu yang disebut dengan warna lokal atau sensibilitas lokal, dan para pengarang cenderung mengangkat budaya daerah sesuai dengan latar belakang sosial-budaya demografinya,” ujar dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Hartono, M.Hum. saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Senin (4/1) di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, warna lokal Banyumasan ditampilkan melalui cerita seputar kehidupan seorang ronggeng, dengan penggambaran latar yang khas di sebuah dukuh kecil yang belum terpengaruh budaya-budaya modern. Di sepanjang cerita, pembaca dapat menangkap unsur-unsur budaya lokal seperti kepercayaan warga terhadap roh leluhur, kebiasaan-kebiasaan warga, serta beragam isu sosial di masyarakat, termasuk soal prostitusi yang melekat dengan tradisi ronggeng.
Menguatnya penggunaan warna lokal Jawa dalam periode tersebut, menurutnya, salah satunya sebagai usaha untuk menghindari kecurigaan pemerintah atau penguasa. Pada masa tersebut pemerintah kerap melakukan sensor terhadap karya sastra yang dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Para penulis kemudian memilih untuk bercerita mengenai pengalaman-pengalaman lokal dalam lingkup daerah yang kecil, agar novel yang ditulis dapat lolos dari sensor pemerintah.
Selain itu, penggunaan warna lokal juga bertujuan untuk mengembangkan budaya lokal dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekayaan budaya nasional. “Melalui warna lokal dalam karya sastra, masyarakat dapat memperoleh pendidikan dan pesan moral yang baik, sehingga rasa saling menghormati dan menghargai antarpendukung budaya juga dapat terjalin dengan baik,” jelas Hartono. (Humas UGM/Gloria)