Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian umumnya terjadi karena kebutuhan manusia akan lahan. Disamping untuk pertanian, hidup manusia memerlukan lahan untuk pembangunan, permukiman dan usaha-usaha yang bersifat sekunder dan tersier.
Kondisi di lapangan memperlihatkan jumlah lahan tetap, sehingga seringkali terjadi konflik kepentingan antara kebutuhan untuk lahan pertanian dan nonpertanian, dan pada akhirnya kepentingan nonpertanian memenangkannya. Karena itu, perubahan penggunaan lahan yang memicu dampak bagi lingkungan abiotik, biotik serta sosial ekonomi dan budaya, khususnya yang terjadi di Kabupaten Magelang perlu dikaji.
Demikian pernyataan Dra. Setiowati, MSi, staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, saat menjalani ujian terbuka guna memperoleh Gelar Doktor Ilmu Lingkungan, Fakultas Geografi UGM, di Sekolah Pascasarjana, Sabtu (9/1). Didampingi promotor Prof. Dr. Suratman, M.Sc dan ko-promotor Prof. Dr. Hadi Sabari Yunus, M.A serta Dr. Ir. Dja’far Shiddieq, M.Sc, promovenda mempertahankan disertasi berjudul Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Lahan Non Pertanian di Kabupaten Magelang, pendekatan Spasial-Ekolologikal.
Melakukan penelitian di enam kecamatan, yaitu Kecamatan Mungkid dengan 16 desa, Mertoyudan dengan 20 desa, Secang dengan 13 desa, Dukun dengan 14 desa, Bandongan dengan 14 desa dan Salam dengan 12 desa, hasil penelitian Seiowati menunjukkan jenis penggunaan lahan yang mengalami perubahan menjadi bangunan (gedung) adalah sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalan, kebun campur, padang rumput dan semak belukar. Sawah irigasi seluas 412,65 ha (66,91 %), sawah tadah hujan 47,07 ha (7,54 %), tegalan seluas 24,00 ha (3,84 %), kebun campur seluas 114,47 ha (18,34 %) serta padang rumput dan semak belukar seluas 21,96 ha (3,36 %).
“Perembetan perubahan yang bisa kita lihat memanjang jalan, menempel dengan permukiman penggunaan nonpertanian lain yang terlebih dulu ada, kombinasi antara keduanya”, papar Setiowati.
Sementara perubahan lahan pertanian menjadi nonpertanian yang diukur secara kualitatif berdasar persepsi masyarakat, kata Setiowati, berdampak terhadap penurunan kesuburan tanah, kuantitas air tanah, kualitas air irigasi, fungsi saluran irigasi, lapangan kerja pertanian, budaya wiwit saat panen, budaya gotong royong dan budaya ronda di masyarakat. Perubahan lahan pertanian menjadi bangunan ini pun berdampak terhadap erosi tanah, banjir, genangan periodik, kebisingan, kandungan debu di udara, masalah sampah, jenis dan jumlah fasilitas umum, lapangan kerja nonpertanian, pembangunan meningkat dan alih profesi dari pertanian ke profesi nonpertanian.
“Untuk itu sebagai implikasi kebijakan, Pemerintah Kabupaten Magelang sudah seharusnya melakukan penataan ruang yang menjamin keamanan lahan sawah beririgasi dan perlu meningkatkan insentif untuk para pemilik sawah beririgasi untuk mempertahankan dan memberi disinsentif bagi yang mengubah peruntukan lahan”, paparnya. (Humas UGM/ Agung)