Hingga kini, Indonesia belum mampu 100 persen memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Tidak optimalnya kinerja sistem ketahanan pangan yang berpusat pada pendekatan berbasis impor dan pangan murah telah menjadi pangkal jebakan terhadap pangan impor.
Di saat yang sama, orientasi ini telah melupakan dan meminggirkan pentingnya membangun kemandirian pangan. Untuk itulah, peran penting sebuah program yang tidak lagi berbasis proyek dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan dan kesejahteraan masyarakat perlu dilakukan.
Tedy Dirhamsyah, dari Balai Ketahanan, Kementerian Pertanian RI, mengakui peningkatan ketahanan pangan masyarakat masih menghadapi berbagai masalah pada tingkat makro maupun mikro. Sisi makro, upaya pengelolaan ketahanan pangan masyarakat menghadapi tantangan utama pada peningkatan optimasi pemanfaatan sumberdaya lokal dan peningkatan kapasitas produksi pangan dalam keterbukaan ekonomi dan perdagangan global.
Sementara sisi mikro, upaya pemantapan menghadapi tantangan utama dengan masih besarnya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan transien karena bencana alam dan musibah serta kerawanan pangan kronis karena kemiskinan. Data menunjukkan jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih tinggi dibanding perkotaan.
“Di tahun 2013 jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 17,91 juta jiwa atau 14,42 persen, dan perkotaan sebanyak 10,63 juta jiwa atau 8,52 persen”, ujar Tedy, di Auditorium Fakultas Pertanian UGM, Selasa (12/1).
Menjalani ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor, Tedy Dirhamsyah mengungkapkan ketidakmandirian pangan di Indonesia bisa dilihat dari semakin meningkat dan besarnya impor pangan pokok. Padahal, jika mau memperhatikan karakteristik dan potensi yang dimiliki khususnya luasan dan kondisi lingkungan, Indonesia sesungguhnya memiliki peluang besar untuk mewujudkan kemandirian pangan.
“Pemerintah dan pemerintah daerah kiranya perlu mengevaluasi kembali, apakah beras merupakan satu-satunya sumber pangan pokok. Pemerintah daerah perlu secara serius menggali potensi lokalnya dalam hal pangan pokok yang lebih sesuai dengan lingkungan alam dan lingkungan budayanya,” papar Tedy saat mempertahankan disertasi Ketahanan Pangan, Kemandirian Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat Daerah Rawan Pangan di Jawa.
Oleh karena itu, untuk membangun kemandirian pangan berbasis pada potensi (sumberdaya alam, manusia, teknologi dan budaya) indigenous atau lokal yang dimiliki, kata Tedy, diperlukan tingginya komitmen politik pemerintah. Pangan yang dihasilkan masyarakat seharusnya “terproteksi” untuk dapat bersaing dan kompetitif di pasar domestik dan internasional. (Humas UGM/ Agung)