Pekalongan dikenal sebagai sentra produksi batik yang telah tumbuh sejak abad ke-19. Bahkan, pada dekade tahun 2000 sekitar 70 persen pasokan batik di Indonesia berasal dari Pekalongan. Di Pekalongan, usaha batik memiliki kontribusi besar dalam memberikan kesejahteraan masyarakat, menyediakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.
Dosen sejarah UNDIP, Dra. Chusnul Hayati, MS., mengatakan bertahannya usaha batik di kota Pekalongan disebabkan karena adanya modal sosio kultural yang produktif di dalam masyarakat. Modal sosial itu antara lain adalah kreativitas dan inovasi ekonomi, didukung teknologi serta artistik dalam mempetahankan perkembangan usaha batik. Masyarakat kota Pekalongan, kata Chusnul, memiliki sifat terbuka dan adaptif yang mendorong mereka mudah mengadopsi pengaruh-pengaruh dari luar dalam pembuatan motif dan tata warna batik. ”Sifat adaptif melapangkan kerja sama dan pemasaran dengan berbagai negara sehingga mengantarkan batik Pekalongan mendunia,” kata Chusnul dalam ujian terbuka promosi doktor di FIB UGM, Selasa (12/1).
Penelitian Chusnul yang khusus melakukan riset perkembangan usaha batik di kota Pekalongan dari tahun 1950-an hingga tahun 2000, menyebutkan proses sosialisasi dan regenerasi usaha batik di Pekalongan berlangsung cukup efektif dalam lingkungan keluarga untuk mempertahankan usaha batik sebagai usaha keluarga. ”Keluarga merupakan unit sosial dan ekonomi untuk melakukan transformasi keahlian teknis dan keterampilan mengelola sebuah usaha guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,” katanya.
Meski demikian, usaha batik di Pekalongan sempat mengalami pasang surut. Pada tahun 1975 terjadi kemerosotan usaha batik. Dari 1300 unit industri kerajinan batik lalu merosot menjadi 257 unit akibat membanjirnya tekstil motif batik dari Jakarta. Namun, pada tahun 1980-an, pengusaha batik di Pekalongan melakukan inovasi produksi teknik membuat batik tulis dengan bahan sutera. Bahkan, produk batik sutera ini mampu menembus pasar internasional. ”Kehadiran batik sutera mampu mengangkat kembali peningkatan batik tradisional,” terangnya.
Usaha batik di Pekalongan setelah itu mengalami gairah kembali dengan tampilnya pengusaha muda dan meningkatnya peranan museum batik sebagai pusat budaya batik dan transformasi budaya batik serta berkembangnya promosi serta strategi pemasaran.
Menurut Chusnul, bertahannya unit usaha batik Pekalongan sampai pada generasi berikutnya dikarenakan terdapat pola pewarisan usaha kepada salah seorang anak atau beberapa anak. Selain itu, keberhasilan regenerasi tradisi membatik juga didukung oleh faktor lingkungan keluarga dan sosial. ”Transformasi dan regenerasi ini menjadi salah satu modal sosial yang penting dalam mempertahankan usaha batik,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)