Split-ticket voting merupakan fenomena yang lahir akibat adanya bermacam-macam pemilihan, seperti pemilihan legislatif (DPR) maupun eksekutif (presiden). Tidak hanya di Indonesia, fenomena split-ticket voting terjadi juga di negara lain yang menyelenggarakan pemilihan langsung.
Bahkan di Amerika Serikat dan Eropa, kajian split-ticket voting sudah cukup lama dan karena itu telah terbangun sejumlah teori dominan. Sementara, di Indonesia, fenomena ini tampak semenjak pemberlakuan pemilihan presiden secara langsung di tahun 2004.
“Untuk pemilu legislatif memilih Partai Golkar, sedangkan untuk Pilpres memilih calon yang diusung oleh Partai Demokrat. Disini pemilih membagi suara (split) untuk bermacam partai pada beberapa jenis pemilihan. Ini kerap terjadi di pemilu pasca Orde Baru,”ujar Muhammad Qodari, di Fisipol UGM, Kamis (14/1) saat menempuh ujian program doktor.
Mempertahankan disertasi Split-Ticket Voting dan Faktor-Faktor yang Menjelaskannya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Indonesia Tahun 2004, Muh Qodari menyatakan setidaknya ada lima teori dominan yang dipakai untuk menjelaskan terjadinya split-ticket voting. Teori keseimbangan, teori konflik harapan, teori kepemilikan isu, teori chek and balance dan teori pemasaran. Semua teori tersebut melihat pemecahan (split) sebagai bagian dari strategi pemilih dengan tujuan tertentu.
“Misalnya, untuk moderasi atau keseimbangan ideologi, untuk memuaskan kebutuhan pemilih yang beragam, cara pemilihan yang berbeda, menciptakan kontrol pemerintahan dan untuk memenuhi ekspektasi pesan kampanye,” papar Qodari didampingi promotor Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A dan ko-promotor Dr. Kuskridho Ambardi.
Karena itu, tidak mengherankan jika di tahun 2004, pemilu legislatif yang dimenangkan oleh Partai Golkar (21,6 %) disusul PDIP (18,5%), namun pemilu presiden dimenangkan oleh Partai Demokrat yang hanya menduduki peringkat kelima pemilu legislatif (7,5%). Salah satu penyebab kegagalan calon yang diusung Golkar dan PDIP, karena pembelahan suara (split) yang dilakukan oleh pemilih Golkar dan PDIP.
“Fenomena split-ticket voting ini bagi partai besar sesungguhnya menggelisahkan dan bagi partai kecil memberi harapan. Yang terjadi pemerintah pun terbelah, karena dikuasai oleh partai-partai berbeda, demikian juga legislatif karenanya untuk melahirkan undang-undang atau peraturan dan lain-lain akan sangat sulit sekali,” papar Direktur Eksekutif Indo Barometer itu.
Lebih lanjut Muh Qodari menjelaskan, meski motivasi pemilih berbeda, namun yang menyatukan semua teori adalah pemilih dianggap cukup pengetahuan, cukup kemampuan, dan melakukan pemecahan suara (split) atas dasar intensi tertentu. Karena itu, dalam konteks yang berbeda, yakni konteks pemilih, sistem pemilu, serta sejarah dan praktik kepartaian yang berbeda, maka menurut Qodari teori-teori split-ticket voting dinilai kurang relevan untuk negara berkembang dan demokrasi muda seperti Indonesia.
Untuk itu, Muh Qodari selaku peneliti merumuskan penjelasan split-ticket voting yang cocok untuk Indonesia, yaitu model low information. Karena berdasar hasil survei dan analisis memperlihatkan model dominan yang banyak diterapkan di AS dan Eropa tidak bisa menjelaskan fenomena split-ticket voting di Indonesia.
“Sementara, model low information cukup baik dalam menjelaskan perilaku split-ticket voting di Indonesia dalam pemilu 2014,” tandas Qodari dalam ujiannya yang dihadiri sejumlah pimpinan dan tokoh nasional. (Humas UGM/ Agung)