Modernisasi pasca pertengahan abad XIX telah membentuk masyarakat Surakarta yang majemuk dengan kultur reflektif. Selanjutnya, muncul kanonisasi budaya kolonial awal abad XX. Hal tersebut ditandai dengan terbentuknya keseragaman gaya hidup, bahasa, reorganisasi di bidang peradilan, pencarian identitas kultural hingga pencapaian eksistensi kultural khususnya bagi komunitas Jawa di Surakarta.
Dosen Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Susanto, mengatakan berbagai bentuk kultur baru tersebut tidak serta-merta diterima oleh sebagian pendukung masyarakat Surakarta lama terutama unsur Indo dan Jawa. Kanonisasi dianggap sebagai upaya menghilangkan identitas mereka. Hal ini memunculkan resistensi terhadap kebijakan pemerintah dalam bentuk gerakan Insulinde dan Nasionalisme Jawa.
“Gerakan ini sangat elitis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan gerakan mereka ini merupakan bentuk gaya hidup baru untuk memperoleh identitas mereka kembali,” tuturnya, Jum’at (15/1) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Mempertahankan disertasi berjudul “ Gaya Hidup, Identitas, dan Eksistensi Masyarakat dan Kebudayaan Surakarta 1871-1940” Susanto menjelaskan bahwa gerakan Insulinde yang merupakan representasi kelompok Indo di Surakarta paling keras melakukan perlawanan melalui kepemimpinan Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo, Dezentje, serta Mare Vogel. Selanjutnya dalam perkembangannya, gerakan ini tidak hanya membahayakan bagi Pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga para elite penguasa pribumi di Surakarta terutama Susuhunan Paku Buwana X dan Pangeran Adipati Mangkunegara VII.
“Gerakan ini menjadikan Surakarta sebagai poros konflik di Hindia Belanda. Namun di sisi lain, gerakan Insulinde juga berupaya menghapus kekuasaan feodal di Surakarta,” terangnya.
Gerakan ini berakhir dalam persitiwa Solo Bergoyang pada 29 Mei 1920. Peritiwa Solo Bergoyang telah mengubah bentuk masyarakat Surakarta. Sejak saat itu di Surakarta berkembang dan terbentuk kembali ikatan lama antara kaum Eropa dan kaum elite Jawa. Selanjutnya, munculnya malaise dan Zelbestuursregelen menjadikan Surakarta semakin tampak sebagai bentuk tatanan sosio-kultural baru yang bersifat majemuk dengan identitas budaya Jawa Surakarta yang menonjol. (Humas UGM/Ika)