Mobilitas internasional pekerja migran memberikan dampak positif bagi daerah karena mengalirnya remitan ke daerah asal. Meski begitu, dampak negatif yang ditimbulkan pun muncul, seperti tingginya angka perceraian bagi keluarga migran. Penelitian yang dilakukan terkait kasus perceraian di Lombok Timur, NTB, ditemukan kejadian banyaknya kasus perceraian. “Sebagian besar kasus cerai gugat dialami rumah tangga pekerja migran,” kata Dosen Universitas Muhammadiyah Mataram, Lalu Tajuddin, S.Pd., M.Si., saat ujian terbuka promosi doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (22/1).
Tajuddin menjelaskan tahun 2010 di daerah Lombok Timur ditemukan 724 kasus perceraian, terdiri dari 613 kasus cerai gugat, dan sisanya cerai talak. Selanjutnya, hingga pertengahan tahun 2011 terdapat 442 kasus dengan 370 cerai gugat. Bahkan, hingga bulan April 2013, tercatat ada 73 kasus perkara, diantaranya 55 kasus cerai gugat.
Penelitian Lalu Tajudin dilakukan terhadap para pekerja migran asal Lombok Timur yang bekerja di perkebunan sawit Malaysia Timur dan pasangan pekerja migran yang ditinggalkan di daerah asal. Lalu berkesimpulan bahwa tingginya angka perceraian kasus gugat cerai di Lombok timur disebabkan keberanian kaum perempuan Sasak yang ditinggal migrasi oleh pasangannya ini mulai memahami posisi mereka yang tidak hanya menjadi istri tetapi lebih dari itu dalam waktu yang bersamaan menjadi kepala keluarga. “Selama ini mereka hanya diposisikan nomor dua akibat ideologi patriarki,” katanya.
Meski demikian, kata Lalu, tingginya angka perceraian ini disebabkan perasaan kesepian dan kesendirian yang dialami pasangan yang ditinggalkan. “Kesepian dapat dimunculkan berupa gejolak pribadi dalam bentuk stres. Setiap personal menyikapi rasa stres itu dengan cara masing-masing. Ada yang mengelola secara posistif dan ada juga menghadapi stres dengan melakukan hal-hal yang negatif,” katanya.
Ia menambahkan kegiatan positif yang dilakukan pasangan yang ditinggalkan adalah dengan menjadi buruh tani, buruh bangunan atau aktif menghadiri majelis taklim untuk sedikit menekan rasa kesepian. “Sedangkan ada juga mereka melakukan dengan cara lain dengan melakukan perilaku menyimpang,” tuturnya.
Menurutnya, perlu diupayakan pembinaan mental dan pembekalan terhadap pekerja migran pada saat persiapan akhir pemberangkatan dengan melibatkan unsur-unsur terkait untuk mengantisipasi adanya perilaku menyimpang, pemahaman hak dan kewajiban pekerja migran terhadap pasangannya selama bekerja di luar negeri. “Pemerintah daerah tidak hanya sekadar memberi pembekalan, namun harus juga melakukan pemberdayaan untuk meningkatkan pendapatan dan mengisi waktu luang pasangan yang ditinggalkan dengan kegiatan positif,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)