Ujaran-ujaran seperti ‘lupa kacang pada kulitnya’, ‘air tenang menghanyutkan’, atau ‘kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak’, sering digunakan untuk mengisyaratkan maksud tertentu kepada lawan bicara. Ujaran semacam ini termasuk peribahasa. Meskipun jarang diucapkan dalam percakapan diantara anak muda, tidak berarti peribahasa yang telah diturunkan secara verbal dalam berbagai generasi ini lenyap ditelan zaman. Peribahasa memiliki sisi menarik yang membuatnya sering disadur dalam ungkapan yang disampaikan oleh pemimpin negara, tokoh masyarakat, orator, pencipta lagu, seniman publik, filsuf, motivator, atau wartawan.
“Peribahasa merupakan bentuk penggunaan bahasa yang menarik dan penting bagi masyarakat pemiliknya. Di samping sebagai media linguistik tempat penyimpanan memori kearifan, peribahasa juga merupakan tempat potongan sejarah peradaban dan kebudayaan suatu masyarakat,” ujar Sailal Arimi, S.S., M.Hum saat mengikuti ujian terbuka program doktor Ilmu Humaniora di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Dalam disertasinya ia menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan masalah pokok identitas peribahasa Indonesia dengan rincian empat subpokok masalah, yaitu redefinisi dan pemahamannya, kategorisasi, pemolaan kognisi, dan dinamika vitalitasnya. Peribahasa dapat dipahami dengan pendekatan kontekstual serta tekstual. Dan dengan mengkaji ciri-ciri linguistiknya, Sailal mendefinisikan ulang peribahasa sebagai sebuah konstruksi frasa atau kalimat yang susunannya disepakati tetap, mempunyai relasi proporsional topik dan komen yang bermakna figuratif, mengandung kearifan, berwujud kognisi kolektif, bernilai masa lalu, berdaya waris, berupa paremiological minimum bagi masyarakat pemiliknya, berfungsi khas, dan dijadikan kutipan dalam sebuah wacana.
Bagi penggunanya peribahasa adalah sarana untuk menjelaskan fenomena kehidupan, sebagai pengungkap, ilustrator, pernyataan, dan alat penasihat yang berharga. Tidak hanya bagi tokoh-tokoh besar, tapi juga bagi masyarakat umum. Karena bentuknya yang ringkas, tidak jarang peribahasa menjadi pilihan solusi bagi sejumlah orang untuk menyederhanakan masalah yang kompleks.
“Misalnya untuk menasihati anak yang banyak bicara atau sombong, kita dapat menggunakan peribahasa seperti ‘air beriak tanda tak dalam’, atau ‘seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk,’” jelas pria yang telah menjadi dosen di jurusan Sastra Indonesia UGM sejak tahun 1999 ini. (Humas UGM/Gloria)