Saat ini, hampir semua perusahaan dan lembaga pemerintah menggunakan instrumen psikometri dan keahlian psikolog dalam proses rekrutmen dan pengembangan karyawan. Namun, sebagian besar teori dan model praktik psikologi di Indonesia masih mengadaptasi model dari negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Bahkan, 80% alat-alat tes psikologi yang biasa digunakan untuk seleksi karyawan di Indonesia diimpor dari barat. Sayangnya, istrumen-instrumen ini relatif sudah usang karena dibuat tahun 1940-an hingga awal 1990-an serta belum disesuaikan dengan konteks budaya masyarakat Indonesia.
Kebiasaan untuk sekadar mengimpor teori dari luar menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, bila tidak dikontekstualisasikan dengan baik, teori dan instrumen tersebut justru dapat menyebabkan misinterpretasi terhadap berbagai aspek psikologis dan perilaku orang Indonesia. Yang kedua, ketergantungan pada hal ini dapat menghambat kreativitas dan inovasi para psikolog Indonesia untuk menemukan dan mengembangkan konsep maupun instrumen psikologis yang baru. Hal inilah yang melatarbelakangi Asosiasi Psikologi Indigenous dan Kultural (APIK) untuk mengadakan workshop dan kongres pada 24-26 Januari 2016 di Omah Petruk, Kaliurang. Workshop dan kongres dihadiri peneliti utusan dari pusat-pusat penelitian psikologi indigenous dan kultural dari 15 universitas.
Guru besar Fakultas Psikologi UGM, Prof. Kwartarini W. Yuniarti, Ph.D., menyayangkan masih sedikitnya temuan peneliti Indonesia yang mendapatkan pengakuan dan dipublikasikan di jurnal-jurnal bertaraf internasional. Persoalan ini menambah signifikansi APIK sebagai sarana bagi para peneliti untuk saling berdiskusi. Selain itu, menurutnya, visi dari APIK juga berkaitan erat dengan pentingnya mempertahankan identitas bangsa Indonesia. “Saat ini masyarakat sepertinya tidak memiliki ideologi yang kuat, mudah sekali dipengaruhi oleh berbagai perubahan tren yang masuk dari luar. Relevansinya sangat tinggi untuk dapat memahami who we are. Jika kita sendiri tidak memahami identitas kita, bangsa-bangsa lain akan mendikte siapa kita dan apa yang harus kita kerjakan,” ujarnya dalam jumpa pers, Sabtu (23/1).
APIK sendiri didirikan pada tahun 2013 oleh beberapa ilmuwan psikologi Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap beberapa masalah di atas. Tujuan berdirinya APIK, yaitu untuk mendorong, mengembangkan dan melindungi para ilmuwan dan praktisi psikologi Indonesia yang memiliki minat untuk mengembangkan teori, alat ukur, dan model-model praktik yang sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Melalui workshop dan kongres ini APIK ingin memperkuat jejaring kerja dan semakin mengokohkan organisasi. (Humas UGM/Gloria)