Keberagaman bahasa merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya bangsa yang bernilai tinggi. Berbagai bahasa daerah yang masih kerap digunakan dalam percakapan sehari-hari menyertai penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa tuturan utama. Hal ini mengakibatkan masyarakat Indonesia didominasi oleh penutur dwibahasa atau multibahasa. Namun, keberagaman dalam penggunaan bahasa ini terkadang dapat memunculkan perbedaan persepsi di antara penuturnya.
Nilai-nilai kesopanan mungkin menjadi salah satu nilai yang banyak menimbulkan kesalahan interpretasi. Kriteria kesopanan sebuah tuturan biasanya dinilai dari penggunaan kata-kata, ada tidaknya sapaan, tujuan berbicara, tepat atau tidaknya situasi atau konteks dalam tuturan, sikap diri, kejujuran, kevulgaran, efek pada mitra tutur, otoritas kelas sosial, serta kecukupan tuturan. Karakteristik kesopanan yang sering kali tumpang tindih pun dapat menyebabkan perbedaan persepsi nilai kesopanan bagi para penutur.
Fenomena lain yang terjadi, banyak orang tua yang mengeluh bahwa nilai-nilai peradaban yang diagungkan pada zaman dahulu tidak lagi dikenal oleh masyarakat sekarang. Salah satu yang dimaksud adalah pudarnya nilai kesopanan di kalangan anak-anak mereka. Jika dahulu bentuk tuturan yang kerap digunakan untuk menyatakan kesopanan adalah tuturan secara tidak langsung atau yang bersifat melengkung, generasi muda dewasa ini pada umumnya menuntut segala sesuatunya dikemukakan secara jelas, lurus, dan transparan, yang oleh sebagian orang dianggap kurang sopan.
“Bertolak dari realitas itu, bentuk dan strategi kesopanan bahasa perlu dikaji, agar dapat menjadi bahan pembentukan karakter berbasis kearifan lokal yang diharapkan dapat memicu kembali penguatan jati diri dan perilaku sopan santun dalam berbahasa,” ujar Muhammad Zuhri Dj., S.S., M.Hum., saat mengikuti ujian terbuka program doktor Ilmu Humaniora di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jumat (29/1).
Dalam disertasinya, dosen IAIN Watampone ini melakukan kajian sosiopragmatik pada masyarakat tutur Bugis di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ia mengkaji Bahasa Bugis dari segi pandang budaya penutur asli bahasa, khususnya dalam komunikasi lisan. Ia pun menyimpulkan empat bentuk tuturan kesopanan direktif , yaitu bentuk deklaratif, imperatif, interogatif, serta eksklamatif, yang masing-masing digunakan untuk menyatakan makna-makna tertentu.
Dalam bahasa Bugis, misalnya, pemakaian fungsi berita atau deklaratif sering digunakan sebagai bentuk tuturan untuk memerintah atau menyuruh orang lain secara tidak langsung, supaya perintahnya itu berkesan halus dan tidak kasar. Hal ini menunjukkan bagaimana orang Bugis sangat menjunjung tinggi adat sopan santun hingga dalam berkomunikasi dengan orang lain pun mereka sangat memperhatikan masalah kesantunan dalam berbicara.
Penggunaan bentuk tuturan kesopanan ini dapat dilakukan secara sengaja berdasarkan kesadaran penutur, yaitu untuk mengisyaratkan maksud tertentu, atau secara tidak sengaja jika penuturan tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lain, seperti emosi. “Berdasarkan pengamatan saya, faktor-faktor yang paling memengaruhi bentuk tuturan kesopanan direktif dalam bahasa Bugis adalah peserta tutur, maksud dan tujuan tutur, serta situasi tutur,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)