Berbeda dari anggapan pada masa kerajaan Hindu-Budha, yaitu raja merupakan titisan dewa di dunia, pada masa kerajaan Islam raja dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia (kalifatullah fil ardhi). Nuansa kepemimpinan yang bersifat kalifatullah yang dipercaya memunculkan kharisma sejati seorang pemimpin inilah yang menjadi ciri khas kerajaan masa itu, dengan menonjolkan karakter pemimpin yang memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual. Salah satu pemimpin tersebut adalah Sultan Hamengkubuwana V, sosok pemimpin yang dianggap menjadi ideal pada kepemimpinan Islam-Jawa.
“Kepemimpinan Hamengkubuwana V pantas dijadikan referensi oleh para penyelenggara negara dewasa ini, yaitu menjunjung nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendahulunya. Persepsi ini membuat generasi muda tidak tercabut dari akar budayanya,” ujar Arkeolog UGM, Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum., saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Sabtu (30/1).
Kepemimpinan raja-raja pada masa kerajaan banyak diabadikan dalam karya-karya sastra, terutama yang diterbitkan di lingkungan istana atau atas perintah raja yang sedang memegang kekuasaan. Dalam disertasinya, Djoko berusaha mengidentifikasi karakter kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V, termasuk mengenai responsnya terhadap situasi sosial-politik pada masa itu, serta ideologi kepemimpinan yang dapat dipahami melalui atribut pada artefak-artefak dan simbol-simbol dalam bentuk kata atau frasa.
Secara umum, masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana V, tergolong sebagai masa-masa paling sulit bagi Kesultanan Yogyakarta akibat jatuhnya kerajaan oleh serbuan tentara Inggris. Dalam peristiwa jatuhnya Kesultanan Yogyakarta, yang disebut sebagai bedhah ing Ngayogyakarta, terjadi penjarahan besar-besaran oleh tentara Inggris dan kemudian disusul dengan Perang Diponegoro, yang menambah rumit suasana pergolakan politik pada masa itu.
Permasalahan kemudian muncul ketika beban sosial-politik harus disangga oleh Sultan Hamengkubuwana V, bagaimana ia merespons situasi tersebut selama masa pemerintahannya untuk dapat mengembalikan kondisi kerajaan kepada tatanan lama seperti yang dicontohkan oleh para leluhurnya. Namun, ternyata ia mampu melakukan berbagai upaya dalam rangka pemulihan pemerintahan kerajaan. Hal-hal yang ia kerjakan di antaranya reformasi birokrasi, pembangunan fisik, mengembalikan benda-benda pusaka kerajaan, serta produksi dan reproduksi karya sastra.
Informasi-informasi yang diperoleh Djoko berasal dari identifikasi terhadap bukti-bukti arkeologis pada masa itu, seperti kendaraan kerajaan, senjata pusaka, alat upacara, bangunan serambi, serta naskah-naskah kesusastraan, dengan menggunakan perangkat teori dan metode arkeologi sosial. “Pendekatan arkeologi sosial dalam kajian ini dapat digunakan untuk merekonstruksi perilaku sosial pendukung dan pencipta artefak, terutama tentang nilai-nilai kepemimpinan, sehingga dapat dijadikan acuan bagi generasi berikutnya,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)