Dermatofitosis merupakan mikosis superfisialis yang banyak ditemukan di negeri tropis beriklim panas dan lembab seperti Indonesia. Di Samarinda, Kalimantan Timur, dermatomikosis menduduki tempat ke-2 dari 10 besar penyakit kulit dan kelamin. Selain itu, dermatofitosis menjadi infeksi terbanyak yang dapat ditemukan di daerah rural maupun urban, baik di kalangan pekerja industri tambang batubara, sopir, pelajar, mahasiswa, atau golongan masyarakat lain. Tipe klinis dermatofitosis yang paling banyak ditemukan adalah tinea kruris yang umumnya diderita oleh laki-laki, dengan penyebab utama adalah Trichophyton rubrum.
“Infeksi T. rubrum merupakan infeksi kronik, sering kambuh, dan sulit disembuhkan,” ujar dr. Natanael Shem, Dip Derm, DDSc, MSc.Derm., saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM, Sabtu (30/1). Menurutnya, keadaan tersebut dapat mengganggu kualitas hidup penderita, membatasi kegiatan untuk mencari nafkah, serta menimbulkan masalah ekonomi yang berkaitan dengan biaya pengobatan. Infeksi ini pun mudah ditularkan dari orang ke orang.
Penelitian yang dilakukan berbagai peneliti terhadap faktor resiko infeksi ini menunjukkan hasil yang bervariasi. Beberapa penelitian menghubungkan infeksi kronik T. rubrum dengan golongan darah, khususnya golongan darah A yang memiliki isoantigen yang mirip dengan glikoprotein yang ditemukan pada dinding sel T. rubrum. Sementara itu, penelitian lain menyatakan tidak terdapat hubungan antara golongan darah dan kronisitas infeksi T. rubrum. Studi lain pun menunjukkan terdapat pengaruh lain, salah satunya aktivitas genetik, yang berhubungan dengan kerentanan untuk mendapatkan infeksi kronik T. rubrum.
Ketidakjelasan ini melahirkan gagasan bagi dosen Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman ini untuk mempelajari sistem lain yang mengatur respons imun tubuh terhadap antigen, yakni sistem Human Leucocyte Antigens (HLA) yang ditemukan dalam darah dan jaringan dengan kajian khusus pada masyarakat di Samarinda. Sistem HLA sendiri merupakan sistem genetik yang paling polimorfik jika dibandingkan dengan sistem genetik lain.
Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara polimorfisme HLA-DR4 dan HLA-DR6 gen pada kromosom 6 dengan kasus sebagai faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya dermatofitosis kronik karena T. rubrum. Sementara itu, tidak terdapat hubungan antara HLA-DR4 dan HLA-DR6 golongan darah ABO dengan kasus sebagai faktor risiko yang meningkatkan dermatofitosis kronik T. rubrum.
“Hasil penelitian ini akan memberi informasi dan edukasi kepada masyarakat, penderita maupun keluarga. Dermatofitosis kronik karena T. rubrum berhubungan dengan faktor genetik (polimorfisme HLA) dan golongan darah tertentu sebagai faktor risiko terjadinya penyakit tersebut agar dapat dilakukan pencegahan dengan menghindari faktor-faktor pencetus sehingga penyakit ini tidak sering kambuh,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)