Indonesia dikenal sebagai laboratorium bencana terbesar di dunia. Dalam beberapa dekade terakhir kita menyaksikan terjadinya berbagai macam bencana yang menelan korban jiwa serta kerugian material yang tidak sedikit. Dampak yang ditimbulkan pun dapat diamati di berbagai ranah kehidupan. Karena itu, penanganan bencana tidak cukup hanya mengandalkan satu disiplin ilmu tertentu. Diperlukan penanganan yang sistematis, menyeluruh, dan efisien untuk mencegah serta mengatasi berbagai dampak buruk yang dapat muncul dari terjadinya bencana alam.
Hal ini menjadi latar belakang diselenggarakannya workshop multidisipliner bertajuk ‘Disaster-Reduction, Resilience, Well-Being, and Culture’ atas kerja sama antara Center for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi UGM dan Coventry University dengan dukungan dari British Council. Workshop yang diselenggarakan pada 15-19 Februari ini diikuti oleh peneliti lintas disiplin ilmu dari berbagai universitas dan pusat riset, dinas terkait, serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam manajemen bencana.
“Indonesia menghadapi bencana yang sangat beragam, mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, juga bencana-bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Bahkan, ada yang menyebut Indonesia sebagai suatu supermarket bencana. Dalam workshop ini kita akan melihat isu-isu ini dan membicarakan bagaimana cara mempersiapkan diri dan merespons berbagai macam bencana,” ujar salah satu pembicara dari Coventry University, Dr. Gavin Sullivan, Jumat (12/2) dalam konferensi pers di Fakultas Psikologi.
Ia menyampaikan pentingnya konteks budaya sebagai salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen bencana, khususnya Indonesia yang masing-masing daerahnya memiliki budaya yang khas. Kondisi ini menuntut adanya strategi manajemen bencana yang disesuaikan dengan budaya di tiap daerah, tidak hanya dalam penanganan bencana yang telah terjadi, tetapi juga dalam mengomunikasikan risiko dari bencana.
“Saya memperhatikan dari media, peristiwa erupsi pada tahun 2010 terdapat kearifan lokal seperti kepercayaan tentang gunung yang membuat masyarakat mempercayai hal-hal tertentu sebagai tanda akan terjadinya bencana. Dalam kasus ini strategi risk communication memiliki peran penting untuk mengubah pandangan masyarakat dan membuat mereka mengerti akan risiko yang mereka hadapi jika tidak segera meninggalkan lokasi bencana,” jelas peneliti yang juga pernah melakukan penelitian terhadap bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul ini.
Hal serupa disampaikan oleh Kepala CPMH, Dr. Diana Setiyawati, M.H.Sc.Psy. Strategi manajemen bencana yang tidak memperhatikan konteks budaya, menurutnya, membuat usaha penanganan bencana menjadi kurang efektif. “Misalnya, ketika di sebuah desa dibuat jalur evakuasi untuk menghadapi gempa, ada beberapa orang yang tidak mau mengikuti arahan karena cara yang digunakan dianggap tidak sesuai dengan kultur mereka. Oleh karena itu, para ahli bencana perlu berkolaborasi dengan ahli psikologi atau ahli dalam bidang lain yang lebih memahami cara pendekatan kepada masyarakat,” ujarnya.
Workshop ini diharapkan dapat meningkatkan monitoring potensi dan ancaman bencana alam di Indonesia serta mendorong resiliensi masyarakat pada daerah rawan bencana melalui kolaborasi antara berbagai pihak yang terkait. “Workshop ini menjadi sarana untuk membangun jaringan bagi berbagai ahli multidisiplin untuk saling berbagi perspektif, dan di waktu mendatang juga mendorong terjalinnya kolaborasi jangka panjang antara peneliti Indonesia dan Inggris dalam bentuk proyek penelitian bersama,” tambah Gavin. (Humas UGM/Gloria)