Pasca reformasi 1998, politik di Indonesia mengalami perkembangan di posisi atas. Sementara itu, kualitas regulasi birokrasi jauh lebih buruk dibanding negara-negara tetangga. Data World Bank menyebutkan bahwa di tahun 2014, Malaysia dan Singapura memiliki nilai 75 dan 100, sedangkan Indonesia hanya mengantongi nilai 49.
Data survei World Bank tersebut tidak berbeda dengan realitas di lapangan. Di bidang regulasi bisnis, untuk berinvestasi memerlukan proses yang sangat rumit. Jika dibanding negara lain, regulasi di Indonesia jauh lebih banyak, rumit dan tidak memperbaiki layanan kualitas pelayanan.
“Data tentang ‘Kemudahan Melakukan Bisnis’ menunjukkan jumlah prosedur di Indonesia sebanyak 10 jenis dibandingkan Malaysia 3 jenis dan Thailand 4 jenis. Bagitu pula untuk waktu pengurusan, di Indonesia memerlukan 48 hari, sementara di Malaysia hanya 6 hari dan Thailand 27,5 hari,” ujar Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA, di ruang Balai Senat, Selasa (1/3).
Pakar administrasi publik ini mengatakan hal tersebut saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Di hadapan Dewan Guru Besar dan tamu undangan, Ketua Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM ini menyampaikan pidato berjudul “Mendorong Perubahan Dari Luar: Kearah Birokrasi Indonesia Yang Demokratis dan Melayani”.
Agus Pramusinto menandaskan untuk mengurus izin pergi ke luar negeri saja prosesnya memakan waktu 2 bulan. Sementara undangan untuk internasional conference atau kerja sama sering kali baru datang sebulan sebelum kegiatan dilaksanakan.
Meskipun pemerintah semenjak jaman Presiden Soeharto hingga Presiden Jokowi telah melakukan banyak hal, namun reformasi birokrasi tetap menjadi isu yang penting. Di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, meskipun telah menggelontorkan anggaran cukup besar, reformasi yang dijalankan tetap memiliki kelemahan. Bahkan, reformasi birokrasi sering kali hanya menyentuh hal-hal yang kurang strategis.
Menurut Agus Pramusinto, dalam 10 tahun terakhir reformasi birokrasi telah menjadi kajian di berbagai negara. Jika di negara maju reformasi birokrasi berjalan karena didorong oleh kepentingan internal birokrasi yang secara sadar memiliki komitmen untuk memperbaiki diri, maka di negara berkembang reformasi yang berbasis suplai (supply side reform) cenderung tidak efektif dalam melakukan perubahan.
“Kalaupun dari dalam muncul upaya reformasi, perubahan tersebut sering kali hanya bersifat semu dan formalitas. Karena itu, reformasi birokrasi di Indonesia harus didorong melalui sisi lain, yakni permintaan dari luar birokrasi (demand side reform),” papar Agus.
Dengan demand side reform ini, menurut Agus Pramusinto, penguatan peran masyarakat sipil, dunia usaha dan media menjadi komponen yang sangat penting. Mereka harus terlibat dalam proses perumusan arah reformasi, memonitor kegiatan dan evaluasi capaian reformasi. Dengan demikian, keberhasilan reformasi birokrasi nantinya dinilai oleh warga penerima layanan, bukan oleh internal birokrasi.
Untuk mewujudkan reformasi birokrasi diperlukan revolusi perubahan mental pejabat dari penguasa ke pelayanan. Oleh sebab itu, yang tidak kalah penting adalah kesadaran kritis masyarakat atas kinerja birokrasi pemerintah. Apalagi saat ini, kebanyakan anggota masyarakat masih dalam taraf kondisi kesadaran magis atau kesadaran naif dan belum pada tahapan kesadaran kritis (critical consciousness). (Humas UGM/ Agung; foto: Budi)