Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Unversitas Gadjah Mada, Jumat (11/3), menggelar diskusi buku Memoar Pulau Buru yang ditulis oleh Hersri Setiawan, pelaku yang pernah menjadi tahanan politik pemerintah Orde Baru yang dipenjara di Pulau Buru 50 tahun silam. Diskusi yang digelar di ruang seminar timur Fisipol UGM ini dipadati oleh para mahasiswa, aktivis dan keluarga eks tapol 1965 serta Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Dr. Hilmar Farid.
Hensri Setiawan yang merupakan alumnus Fisipol UGM ini nampak terharu dan bangga saat menyaksikan dikusi tentang bukunya. Kedatangannya ke UGM merupakan yang pertama setelah ditahan di pulau Buru. Ia mengapresiasi langkah Fisipol UGM mau menggelar dikusi lintas generasi untuk mengetahui lebih banyak sejarah pembuangan tahanan politik pascatragedi 1965. “50 tahun bukan waktu panjang bagi sejarah, tapi akan lebih panjang lagi bila kita tidak berbuat sesuatu dan memutus rantai (penulisan sejarah), UGM sudah memulai memutus rantai itu,” katanya.
Hensri berpendapat penulisan sejarah harus ditinjau ulang, khususnya bagaimana para tahanan politik yang dianggap berafiliasi dengan PKI ini dipenjara tanpa melewati sidang di pengadilan. Meski begitu, kata Hensri, apa yang dialaminya selama masa pembuangan di Pulau Buru tidak membuatnya memiliki rasa dendam. Justru, dari buku yang ditulisnya bisa menjadi pelajaran bagi generasi sekarang.
Diskusi buku yang digelar di Fisipol UGM ini, menurut Hensri, menjadikan dirinya ingat dan mengenang kembali rekan-rekannya sesama mahasiswa yang ditahan dan hilang pada tahun 1965. “Penghargaan ini saya persembahkan untuk dua dosen saya dan ratusan mahasiswa UGM yang hilang tahun itu,” kenangnya.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid memberikan apresiasi kepada Fisipol UGM yang dianggapnya berhasil menyelenggarakan diskusi tentang buku yang memuat sejarah kelam pemerintah di masa lalu. “Apa yang disampaikan Hensri merupakan bentuk kesaksian, ia mampu mengatasi warisan yang begitu lama ditanamkan pada kita yakni ketakutan,” katanya.
Hilman menambahkan ketakutan yang diciptakan rezim di masa lalu tidak hanya menghinggapi masyarakat namun juga para penguasa yang selanjutnya menciptakan ketakutannya sendiri. “Ketakutan ada pada mereka yang memegang kuasa, ketakutan yang diciptakan oleh mereka sendiri. Kita harus menerobos ketakutan itu, mengikis ketakutan yang selama ini membentuk pribadi kita. Bagi saya, Hensri sudah memberikan sumbangan yang berarti bagi kita semua,” katanya.
Dekan Fisipol UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, menuturkan penulisan sejarah bangsa melalui masa senang dan susah. Namun, dari sejarah itu pula yang telah membentuk pribadi masyarakatnya. Pengalaman bagi pelaku sejarah, kata Erwan, berhasil membentuk pribadi-pribadi sebagai manusia Indonesia yang seutuhnya. “Kita belajar dari Hensri bahwa tidak ada saling dendam, sesama anak bangsa harus membangun bangsa yang lebih baik di masa mendatang,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)