The Arab Spring, Musim Semi Arab, merupakan bahasa politik yang mulai populer dalam kancah politik internasional di awal Januari 2011, terutama untuk negara-negara Arab. Istilah ini dipakai untuk menunjukkan kejatuhan berderet rezim pemimpin-pemimpin otoriter dunia Arab, mulai dari Tunisia, Zein Al-Abidin Ben Ali (Ben Ali), diikuti Mesir dengan tergulingnya Hosni Mubarak, kemudian Libya yang berhasil mengakhiri kediktatoran Moammar Khadafy, berlanjut ke Yaman, Bahrain dan Suriah.
“Rakyat Arab menyebut peristiwa politik penting ini dengan sebutan Al-Arabiyyah, yaitu revolusi yang akan mengubah tatanan menuju masyarakat dan bangsa yang ideal,” ujar Ahmad Sahide, di Sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu (19/3) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Menurut Ahmad Sahide, pergolakan The Arab Spring menjadi awal peristiwa politik untuk mengakhiri sistem politik di negara-negara Arab yang tidak transparan dan tidak membatasi kekuasaan pemimpin (presiden). Peristiwa ini menjadi awal membangun sistem serta tatanan kehidupan yang lebih transparan, dimana kekuasaan pemimpin dibatasi dengan memberikan ruang kebebasan (hak) masyarakat untuk berpartisipasi dalam dunia politik, baik itu partisipasi untuk memilih maupun dipilih, serta partisipasi dalam mengontrol pemerintah.
“The Arab Spring atau Musim Semi Arab telah membuka pintu demokrasi di negara-negara Arab yang sudah cukup lama hidup dalam sistem politik yang otoriter,” kata Ahmad, aktivis Yayasan Indonesia Berkarya (YIB) itu.
Meski tengah menuju pada kehidupan pranata politik yang demokratis, kata Ahmad, membangun pranata politik yang demokratis di Arab ternyata menghadapi berbagai tantangan. Tantangan internal berasal dari masyarakat dan pemerintah dunia Arab sendiri, dan tantangan eksternal.
Faktor internal berupa budaya dan sosiologi masyarakat Arab yang terbangun tanpa partisipasi politik yang luas untuk masyarakat. Sementara itu, partisipasi politik perempuan di sana masih rendah.
“Negara-negara Arab tergolong sebagai negara yang memiliki tingkat partisipasi politik perempuan sangat rendah hingga kini,” kata Ahmad Sahide saat mempertahankan disertasinya berjudul Demokratisasi Era The Arab Spring di Negara-negara Arab.
Ahmad Sahide berkesimpulan kehadiran asing di Arab, di satu sisi aktif mengambil inisitaif untuk demokratisasi, namun di sisi lain terbukti menggagalkan demokratisasi. Pihak asing, terutama AS, menurut Ahmad sesungguhnya memiliki katakutan kehilangan pengaruh politik di kawasan Timur Tengah jika muncul pemimpin hasil proses demokrasi yang tidak sejalan dengannya. (Humas UGM/ Agung)