Terapi oksigen hiperbarik dalam beberapa waktu terakhir sangat populer digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit seperti penyembuhan luka diabetes, patah tulang, luka trauma, terapi radiasi, dan lainnya. Bahkan, terapi dengan memasukkan oksigen murni ke dalam tubuh dalam ruang bertekanan tinggi ini kian ramai diperbincangkan setelah terjadi ledakan di ruang terapi sebuah rumah sakit di Jakarta.
Ahli Fisiologi UGM, Dr.dr. Zaenal Muttaqien Sofro, AIFM., mengatakan terapi oksigen hiperbarik awalnya ditujukan bagi para penyelam. Dilakukan untuk mengatasi ganguan yang terjadi akibat tekanan yang tinggi di bawah permukaan air akibat penyelaman atau yang disebut dekompresi.
“Saat penyelam naik ke permukaan akan muncul gelembung udara berupa gas nitrogen. Akumulasi nitrogen saat menyelam yang membentuk gelembung udara ini menyumbat aliran darah sehingga bisa menimbulkan kondisi seperti nyeri otot, stroke, kejang-kejang, bahkan menyebabkan kematian,” urainya, Senin (21/3) di Fakultas Kedokteran UGM.
Pada kasus dekompresi penyelam ini, pemberian terapi oksigen hiperbarik ditujukan untuk menghilangkan gas nitrogen dari dalam tubuh. Dalam perkembangannya, terapi ini juga dimanfaatkan untuk penyembuhan sejumlah penyakit yang terjadi pada jaringan lunak maupun jaringan keras. Disamping itu, terapi ini juga digunakan untuk mencegah infeksi dan anti aging (penuaan).
“Terapi ini arahnya untuk meningkatkan efektivitas proses penyembuhan dalam pengobatan penyakit. Bekerja dengan mengecilkan pembengkakan yang terjadi pada jaringan,” terang dosen bagian Ilmu Faal Kedokteran UGM ini.
Meskipun terapi oksigen hiperbarik tergolong aman, terapi ini tetap memiliki sejumlah risiko. Salah satunya adalah mengakibatkan kebakaran seperti yang terjadi di RS AL Mintohardjo beberapa waktu lalu.
“Terapi ini tetap berisiko karena dilakukan pada tekanan udara yang lebih besar, 2-3 kali lebih besar dari tekanan udara atmosfer normal. Kebakaran terjadi bisa karena sifat oksigen yang mudah terbakar sehingga saat terapi pasien dilarang membawa peralatan elektronik,” urainya.
Oleh karena itu, Zaenal menawarkan satu cara yang cukup ampuh berupa terapi oksigen yang aman, mudah dilakukan, murah, dan bisa dilakukan oleh setiap orang. Seperti diketahui, saat ini belum banyak rumah sakit yang menyediakan layanan terapi oksigen hiperbarik ini.
“Terapi oksigen pada dasarnya adalah menghantarkan oksigen ke dalam tubuh. Hal ini bisa dilakukan dengan olahraga yang berprinsip FITT (Frequency, Intensity, Time, and Type),” jelas Alumnus Sport Medicine and Sport Circulatory, Innsbruck, Austria ini.
Zaenal menerangkan untuk meningkatkan pasokan oksigen dalam darah bisa dilakukan dengan melakukan olahraga secara teratur dan terukur, yaitu 3-5 kali setiap minggunya. Kemudian dilakukan dengan intensitas yang sedang, tidak boleh terlalu berat ataupun ringan. Olahraga dilakukan dalam durasi 30-45 menit setiap sesinya, tidak boleh kurang maupun lebih agar tidak terjadi keracunan oksigen. Terakhir, olahraga yang dilakukan bersifat ritmis, kontinu, serta menggunakan otot besar seperti senam, bersepeda, renang, jogging, dan jalan cepat.
Menurut Zaenal dengan melakukan olahraga akan membentuk pembuluh darah baru. Dengan begitu, dapat memperlancar peredaran oksigen ke seluruh tubuh. Semakin banyak oksigen yang terserap maka semakin baik tubuh dalam memperbaiki jaringan yang rusak.
“Olahraga adalah cara yang mudah dan murah untuk meningkatkan pasokan oksigen dalam tubuh. Selain itu juga aman dan bisa dilakukan secara massal,” terangnya.
Ditambahkan Zaenal, selain melakukan olahraga secara rutin, masyarakat juga diimbau untuk memenuhi kebutuhan air minum setidaknya 8 gelas sehari atau sekitar 1.500 liter. Hal ini diperlukan untuk memperlancar sirkulasi oksigen dalam darah.
“Dalam sehari paling tidak minum 8 gelas air putih, tidak termasuk kopi dan teh,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)