Saat ini hanya 20% rumah tangga kelas teratas yang mampu membeli rumah dari pasar formal, sedangkan 40% rumah tangga kelas menengah tidak dapat membeli rumah tanpa bantuan subsidi, dan 40% rumah tangga kelas bawah bahkan sama sekali tidak memiliki daya beli terhadap rumah. Hal ini menunjukkan distribusi penyediaan perumahan di Indonesia yang masih belum merata. Dengan kata lain, persoalan perumahan nampaknya belum menjadi prioritas bagi pemerintah pusat dan daerah.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Ir. Mahditia Paramita, M.Sc, pendiri dan direktur eksekutif lembaga Housing Resource Center yang diinisiasi pada tahun 2006 oleh para aktivis perumahan, Pemda DIY, UN-Habitat, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Anggaran pemerintah untuk sektor perumahan relatif kecil dibanding sektor prioritas lain. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perumahan belum diprioritaskan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah,” ujarnya dalam Policy Corner yang diselenggarakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Senin (28/3) di Auditorium Gedung Masri Singarimbun.
Dalam diskusi ini ia memaparkan transformasi kebijakan perumahan di Indonesia selama 6 generasi, yaitu pada masa pengenalan, masa pengembangan, masa stabil, masa transisi, masa revisi kebijakan I, serta masa revisi kebijakan II. Pembagian generasi ini, menurutnya, dibuat berdasarkan kriteria orientasi kebijakan, perubahan target kelompok, serta lingkup layanan perumahan oleh pemerintah.
Pada masa pengenalan atau generasi pertama di tahun 1947-1966, prioritas utama terletak pada perencanaan fisik sebagai respons atas kebutuhan pasca Perang Dunia II yang banyak dipengaruhi oleh paradigma modernisasi dan pertumbuhan perkotaan. Sementara itu, masa pengembangan pada tahun 1967-1977 diwarnai oleh krisis ekonomi yang membuat daya beli masyarakat merosot tajam sehingga kebijakan perumahan dilakukan dengan sistem sentralisasi atau top-down. Kemudian pada masa stabil di tahun 1978-1997, terdapat upaya akselerasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru secara bertahap dengan pembentukan beberapa lembaga dan peraturan perundangan yang secara khusus menangani masalah perumahan.
Pasca orde baru, mulai terdapat perubahan dalam orientasi kebijakan pemerintah. Masa transisi pada tahun 1998-2004 menjadi fase awal peralihan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Selanjutnya, diteruskan pada masa revisi kebijakan I saat pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dan 2 dengan melakukan optimalisasi peran Pemda sebagai aktor kebijakan perumahan. Sementara itu, masa revisi kebijakan II pada tahun 2010 hingga sekarang lebih berorientasi pada sinergi dan pembangunan berkelanjutan.
Meski kapasitas pembangunan rumah masih belum dijalankan secara maksimal, Mahtidia mengapresiasi peningkatan perhatian pemerintah terhadap persoalan perumahan. Salah satu kebijakan pemerintah dalam 2 periode terakhir yang diapresiasi adalah penanganan pemukiman kumuh dan rumah tidak layak huni (RTLH), khususnya melalui program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS).
“Program BSPS menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan dengan dioptimalkannya konsep desentralisasi di bidang perumahan. Keterlibatan Pemda serta masyarakat secara langsung dalam program ini dapat meningkatkan efektivitas dan transparansi pelaksanaan program,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)