Secara umum penduduk asli Papua dikelompokkan menjadi dua, yaitu masyarakat yang tinggal di pesisir disebut dengan masyarakat pesisir dan yang tinggal di pegunungan dikenal dengan masyarakat gunung. Awalnya, kedua kelompok masyarakat tersebut hidup berdampingan dalam kedamaian tanpa konflik yang berarti. Namun, kondisi itu berubah ketika terjadi lalu lintas manusia, budaya, politik ke Papua, khususnya pada masa orde baru.
Bupati Jayawijaya, Wempi Wetipo, S.H., M.H., mengatakan pada periode orde baru masyarakat pegunungan menjadi termarjinalkan. Masyarakat pegunungan mendapatkan label negatif dan pesisir mendapat label positif.
“Dikotomi gunung-pantai telah terjadi sekian tahun yang justru merugikan Papua sendiri dalam menatap masa depan,”jelasnya, Kamis (31/3) di University Club (UC) UGM saat bedah buku berjudul “Gunung Versus Pesisir” yang ditulisnya bersama Marthen Medlama, Sp.d.
Wempi mengatakan adanya persepsi negatif dari satu kelompok ke kelompok lain pada akhirnya melahirkan konflik. Persepsi ini kemudian berkembang, disamping ada yang memanfaatkan dengan bermain di air keruh sehingga menjadikan generasi baru membuat ‘gap’ diantara dua komunitas ini.
“Namun, saat ini dikotomi gunung dan pantai sudah mulai mencair. Stereotip dan keragaman yang dimiliki Papua justru menjadi pemersatu masyarakat Papua mengejar ketertinggalan,” tuturnya.
Melalui buku ini Wempi mengajak pembaca untuk mengenal lebih jauh fakta yang terjadi tentang konflik yang tersembunyi dan bisa menjadi sumbu pendek bagi kedamaian di Papua itu. Selain itu, ia juga memberikan resep membangun generasi mendatang yang tidak bersikap dikriminatif dan rasis dengan terus memajukan Papua dari berbagai bidang.
“Buku ini ditulis untuk membuka fakta sekaligus mengajak pembaca membuka sekat bahwa Papua adalah satu. Sudah saatnya membuang stereotip gunung dan pantai dan terus membangun semangat Papua yang satu tanpa kecuali ,” tegasnya.
Dalam bedah buku yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Jayawijaya Papua bersama Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian, UGM (PSKP UGM) turut menghadirkan dua pembicara, yaitu Prof.Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., Kepala PSKP, dan Ketua Pengelola Program Doktor Ilmu Politik FISIPOL, Prof. Purwo Santoso, M.A., Ph.D.
Purwo Santoso menyampaikan bahwa persoalan yang terjadi di Papua merupakan potret kehidupan bermasyarakat yang juga banyak terjadi di berbagai daerah lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu membawa identitas kelompok yang menjadi pemicu timbulnya konflik sosial.
“Kategorisasi dan politik identitas tidak harus diratapi sepanjang pemanfaatannya bersifat silang menyilang, menghasilkan relasi menyilang. Karena dengan relasi itulah yang merawat persatuan Indonesia, dan juga persatuan antara suku di Papua,” jelasnya.
Sementara itu, Sigit Riyanto menilai peluncuran buku ini sesuai dengan momentum. Ia melihat saat ini kebijakan afirmatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua. Mengingat keunikan kondisi Papua, diperlukan paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua dimanapun mereka tinggal, baik gunung maupun pantai harus terlayani dan tersentuh secara keseluruhan. Demikian halnya dengan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. (Humas UGM/Ika)