Sifatnya yang mudah meledak, korosif, infeksius, reaktif, atau beracun membuat Sampah Bahan Berbahaya Beracun Rumah Tangga (SB3-RT) harus dikelola sesuai dengan jenis dan karakteristiknya. Namun, sampai saat ini belum ada sistem pengelolaan khusus SB3-RT di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Sleman. Padahal, penanganan yang kurang tepat terhadap SB3-RT dapat menimbulkan pencemaran lingkungan serta gangguan kesehatan masyarakat berupa keracunan akut, kerusakan organ tubuh, penyakit degeneratif, penularan penyakit, kecacatan, dan bahkan kematian.
“Sebagian besar sampah Kabupaten Sleman termasuk di dalamnya SB3-RT masih diselesaikan dengan cara dibakar, dibuang, atau ditimbun di lingkungan sekitar perumahan,” ujar Iswanto, S.Pd, M.Kes., saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Sabtu (2/4) di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM.
Dalam disertasinya ia mengkaji jenis dan timbulan SB3-RT di Kabupaten Sleman, pengaruh pola penanganan sampah terhadap potensi dampak kesehatan dan lingkungan, serta alternatif sistem pengelolaan SB3-RT yang paling optimal untuk diterapkan.
Sampah yang dikategorikan sebagai SB3-RT biasanya berasal dari produk-produk keperluan rumah tangga yang mengandung bahan berbahaya beracun, seperti baterai, lampu TL dan CFL, insektisida, korek api gas, cat semprot (aerosol), disinfektan, obat-obatan medis, ataupun barang-barang elektronik. Timbulan SB3-RT di lingkungan berhubungan secara signifikan dengan tingkat pendapatan dan pengetahuan keluarga tentang SB3-RT.
“Tingkat pendapatan keluarga yang semakin tinggi diikuti timbulan SB3-RT yang semakin besar. Demikian pula semakin tinggi tingkat pengetahuan KK tentang SB3-RT, semakin besar timbulan SM3-RT yang dihasilkan,” jelas dosen di Poltekkes Kemenkes Yogyakarta ini.
Di Kabupaten Sleman sendiri pola penanganan sampah dibedakan menjadi tiga, yaitu pola perkotaan melalui pelayanan pemerintah atau swasta, pola mandiri yang berbasis masyarakat, serta pola pedesaan yang umumnya dilakukan dengan membakar atau membuang sampah ke lahan kosong atau ke perairan. Dari ketiga pola ini, menurut Iswanto, pola mandiri memiliki kemampuan mengurangi SB3-RT yang tertinggi, yaitu sebesar 85,71%. Selain itu, ia menambahkan penanganan sampah di Kabupaten Sleman juga tidak dapat dilepaskan dari peran sektor informal, yaitu keterlibatan para pemulung dan pengepul yang memungut jenis SB3-RT yang masih berharga. Semakin banyak SB3-RT yang dipungut, maka semakin sedikit jumlah sampah yang dibuang ke lingkungan.
Ia juga menyampaikan temuan bahwa sistem pengelolaan SB3-RT berbasis masyarakat melalui kelompok pengelola sampah mandiri atau sistem bank sampah menjadi alternatif paling optimal untuk diterapkan di Kabupaten Sleman pada masa mendatang. “Saran saya agar pemerintah segera menerbitkan peraturan khusus tentang pengelolaan sampah spesifik yang di dalamnya memuat SB3-RT, membentuk lembaga penanggung jawab, melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat, serta melakukan pengawasan pelaksanaan pengelolaan SB3-RT secara konsisten dan terus menerus,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)