Tim Mitigasi Bencana Fakultas Teknik UGM melakukan survei deteksi ancaman longsor di sepanjang sungai Code dan Winongo yang membelah Kota Yogyakarta belum lama ini. Hasil survei mereka menunjukkan bahwa wilayah di sekitar bantaran sungai Code dan Winongo mempunyai tingkat kerentanan longsor yang tinggi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar tebing sungai memiliki lereng yang cukup curam dan tersusun oleh endapan yang belum terkompaksi secara baik. “Gerusan dari aliran air sungai juga mengikis pada bagian kaki tebing bisa mengurangi kestabilan lereng ditambah dengan banyaknya pemukiman yang berada di atas tebing sehingga menambah berat lereng,” kata Dr. Wahyu Wilopo salah satu anggota peneliti FT UGM dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis (7/4).
Dosen dari Departemen Teknik Geologi FT UGM ini mengatakan besarnya risiko ancaman longsor di sepanjang Sungai Code dan Winongo ini juga disebabkan saluran pembuangan limbah rumah tangga dari warga dinilai kurang sesuai dan banyak dibuang langsung ke dalam tanah atau ke lereng yang akan memicu adanya erosi tebing. “Idealnya, jarak pemukiman dari tebing adalah sama dengan ketinggian tebing, sehingga bisa menjaga kestabilan lereng dalam jangka panjang,” katanya.
Daerah yang disebut oleh Wahyu memiliki risiko terjadinya longsor meliputi daerah Pogung-Sendowo-Blimbingsari-Gondolayu-Kotabaru dan Sungai Winongo meliputi daerah Tegalrejo sampai Bugisan.
Untuk mencegah terjadinya longsoran berikutnya di daerah-daerah lain maka perlu dilakukan tindakan mitigasi, antara lain dengan memperkuat lereng, baik di kaki tebing maupun tebingnya sendiri. Sebagai contoh bronjong pada kaki tebing sungai yang berfungsi untuk mengurangi erosi sungai dan sebagai penahan tebing bisa juga dengan talud dengan perbandingan kemiringan 1:1. Selain itu, dengan teras minimal 2 meter serta ketinggian maksimum 5 meter dan dilengkapi saluran drainase dengan jarak antar lubang maksimal 2 m dengan diameter minimal 2 inci.
Selain itu, lubang drainase harus dikontrol agar tidak tersumbat, misalnya dengan meletakan lapisan ijuk pada intake saluran di dalam lereng. Selain itu, juga dengan perbaikan saluran pembuangan limbah rumah tangga yang kedap air dan salurannya sampai pada tubuh sungai. Menurutnya, penataan penggunaan lahan diatas tebing merupkan hal sangat penting untuk mengurangi risiko terjadinya longsor. Kegiatan pembangunan rumah tidak boleh berada di dekat tebing dan dihindari bangunan bertingkat untuk mengurangi beban tebing. “Perlu juga dilakukan penguatan pengetahuan masyarakat yang hidup di sepanjang sungai tentang bencana longsor antara lain pengetahuan tanda-tanda terjadinya longsor seperti adanya retakan bangunan retak-retak, pohon miring, munculnya mata air tiba-tiba pada waktu hujan di kaki lereng dan penggembungan lereng,” terangnya.
Dia menambahkan pemerintah setempat perlu mengecek kembali saluran-saluran drainase di tebing atau lereng untuk memastikan tidak terjadi sumbatan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Bila terjadi retakan sebaiknya segera ditutup dengan material kedap ataupun terpal sehingga air tidak bisa masuk ke dalam tanah dan masyarakat bisa mengungsi ke tempat yang lebih aman pada waktu hujan turun sampai kondisi betul-betul aman. “Karena longsor bisa terjadi tidak hanya pada waktu turun hujan tetapi setelah turun hujan. Pengamatan retakan juga perlu dilakukan secara teratur sehingga bisa diantisipasi langkah-langkah untuk mengurangi tingkat kerugian,” ujarnya.
Menurut perkiraan BMKG, bulan April ini merupakan puncak dari turunnya hujan di wilayah Yogyakarta. Oleh karena itu, perlu diwaspadai bagi seluruh warga Yogyakarta yang tinggal di daerah sepanjang sungai karena berpotensi terjadinya banjir ataupun longsor di sepanjang tebing sungai. Seperti diketahui, pada 12 Maret 2016 di wilayah bantaran Sungai Winongo maupun Sungai Code terjadi banjir secara tiba-tiba. Di sisi lain, bencana longsor juga terjadi di wilayah Jogoyudan, Gowongan, Jetis, Yogyakarta atau tepatnya berada di sisi barat dinding Sungai Code atau 30 meter sebelah selatan dari jembatan Gondolayu. (Humas UGM/Gusti Grehenson)