Psikolog UGM, Sentot Haryanto, M.Si., Psi, Psikolog mengatakan terdapat sepuluh tanda-tanda perilaku yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa. Beberapa tanda tersebut, antara lain terjadinya peningkatan kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang semakin membudaya, rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan figur pemimpin.
Tanda-tanda lainnya, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, tingginya kecurigaan dan kebencian serta penggunaan bahasa yang memburuk. Selain itu, terjadi penurunan etos kerja, penurunan rasa tanggungjawab individu dan warga negara, tingginya perilaku merusak diri serta semakin kaburnya pedoman moral.
“Kesepuluh indikator yang saya kutip dari Thomas Lickhona tersebut tentu sangat memprihatinkan dan tanda-tandanya mulai terlihat di Indonesia,” ujar Sentot Haryanto, di Ruang Multi Media UGM, Selasa (12/4).
Berbicara pada kegiatan Pelatihan Membangun Kecerdasan Holistik Berbasis Ke-Indonesiaan yang digelar Pusat Studi Pancasila UGM, Sentot menandaskan bahwa bangsa Indonesia seharusnya segera berbenah diri. Bangsa ini sedang berhadapan dengan masalah besar dan jika tidak serius akan menuju pada arah kehancuran.
Keprihatinan yang sama diungkapkan Dr. Heri Santoso, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM. Menurutnya, pendidikan dewasa ini belum sungguh-sungguh mengembangkan seluruh potensi kecerdasan anak didik secara holistik. Saat ini, pengajaran di sekolah cenderung hanya menyiapkan siswa-siswi untuk memilih satu jawaban yang paling tepat dari jawaban yang sudah disediakan.
Hal tersebut menjadikan generasi muda cenderung tidak siap, gagap, dan mengalami kesulitan mengidentifikasi masalah fundamental yang dihadapi diri, keluarga, dan bangsanya. Terlebih, jika para generasi muda dituntut menemukan solusi.
“Tentu saja, pelatihan yang digelar ini untuk itu, merubah mindset para guru, dosen, dan mahasiswa agar mampu mengembangkan potensi kecerdasan intelektual, emosional-sosial, spiritual dan kinestetik secara lebih optimal dan holistik,” kata Heri.
Sementara itu, Achmad Charris Zubair, Ketua Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, berpendapat salah satu sumber masalah yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini ditinjau dari perspektif kecerdasan emosional dan sosial adalah masalah cara pandang. Adanya perbedaan tajam cara pandang berpotensi menimbulkan konflik, sementara hingga kini belum muncul kesadaran orang untuk berani memahami cara pandang yang lain, atau bahkan merubah cara pandang lama dengan cara pandang baru.
Charris menambahkan guru, dosen, mahasiswa, pemimpin dan siapapun juga terkadang dihadapkan pada suatu masalah yang dilematis. Misalnya, dengan segala risiko sebagai seorang pemimpin dituntut untuk berani mengambil keputusan demi kebaikan.
“Mengambil keputusan bagi seorang pemimpin bukan hak, namun kewajiban dan tanggunjawab. Sebagai konsekuensi dari amanah kepemimpinan yang diberikan kepadanya maka jika seorang pemimpin tidak berani mengambil keputusan atau membiarkan masalah berlalu tentunya ia dinilai tidak pantas menjadi seorang pemimpin,” ungkap Charris Zubair.
Pelatihan untuk para guru, dosen, dan mahasiswa di Yogyakarta dan Jawa Tengah dimeriahkan Surono, salah seorang fasilitator pelatihan yang mengajak para peserta bermain, bernyanyi dan senam otak. Sementara itu, di akhir kegiatan diisi dengan refleksi dan kontemplasi yang menjadikan banyak peserta tidak kuasa menahan air mata. (Humas UGM/ Agung)