Sejak mulai diselenggarakan pada tahun 2005, sebagian besar daerah setidaknya telah menyelenggarakan 2 periode Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Electoral Hostility Index (EHI) yang mengukur tingkat kekerasan PILKADA berbagai daerah di Indonesia menempatkan PILKADA di Papua pada periode kedua sebagai PILKADA yang di dalamnya paling banyak terjadi kekerasan. Terlepas dari pandangan yang kerap muncul, penelitian yang dilakukan oleh Dr. M. Zulfan Tadjoeddin dan Dr. Samsu Rizal Panggabean menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi di Papua sebenarnya bukan disebabkan oleh persoalan budaya.
Temuan ini dipaparkan dalam seminar yang membahas mengenai fenomena kekerasan PILKADA di Papua, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM dan Institute of International Studies, Senin (18/4) di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM. Dalam seminar ini, keduanya menjawab pertanyaan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan pemilihan daerah pada level distrik yang lebih membangkitkan kekerasan di Papua dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.
“Terjadi perbedaan perilaku elektoral oleh masyarakat atau aktor pemilihan, antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Secara signifikan, terdapat lebih banyak konflik dan kekerasan dalam PILKADA dibandingkan dengan pemilu nasional,” ujar Tadjoeddin mengawali pemaparannya.
Pada 2012, Tajoeddin yang mengajar di University of Western Sidney, Australia, memperkenalkan Electoral Hostility Index sebagai standar untuk mengukur tingkat kekerasan dalam proses pemilu di tingkat daerah. Pengukuran tingkat kekerasan ia gunakan dengan menggunakan 4 skala, yaitu skala rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Dari 11 provinsi di Indonesia yang ia amati, yaitu daerah-daerah yang dikategorikan sebagai wilayah tinggi konflik, hasil pengukuran EHI menunjukkan bahwa pada periode kedua, kekerasan PILKADA paling banyak terjadi di Papua.
Berdasarkan penelitian tersebut, ia memaparkan dua hal yang berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya kekerasan PILKADA, yaitu tingkat kemiskinan dan sejarah konflik di masa lalu. “Peninggalan dari konflik yang lama itu ditransaksikan, artinya skill untuk melakukan kekerasan itu sekarang diadopsi kembali. Ini yang mengkhawatirkan,” tambahnya.
Sementara itu, mengenai motif kekerasan PILKADA yang terjadi di Papua, menurut Rizal, karakteristik dari kekerasan yang terjadi menunjukkan bahwa kekerasan terjadi bukan karena kekecewaan atau sentimen negatif terhadap institusi penyelenggara pemilihan, tetapi lebih kepada usaha untuk memengaruhi proses serta hasil dari PILKADA. Jadi, kekerasan ini terjadi lebih karena persoalan strategi, seperti penggunaan berbagai cara untuk menghasut atau memanas-manasi lawan.
“Lebih tepat kalau kita melihat persoalan ini sebagai persoalan strategi dari aktor-aktor yang terlibat dalam PILKADA, bukan soal struktur atau kultur masyarakat. Kalau berbicara mengenai persoalan di Papua, orang sering kali terperangkap pada persoalan budaya, tapi dalam observasi pada tingkat kota dan kabupaten hal ini tidak terlihat,” ujar dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM ini. (Humas UGM/Gloria)