Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak telah bergaung di kalangan pemerintah dan media massa selama lebih dari setahun terakhir. Aturan ini memang digadang-gadang dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak serta menggenjot pembangunan nasional. Namun, aturan ini juga menimbulkan banyak kontroversi karena sarat unsur ketidakadilan, dan manfaat jangka panjangnya pun masih dipertanyakan.
“Berbicara mengenai RUU ini, baik atau buruk itu relatif. Dampaknya tentu bisa meningkatkan penerimaan negara, tetapi di level berikutnya juga diharapkan ada perubahan perilaku dari wajib pajak terkait kepatuhan dalam membayar pajak,” ujar ekonom UGM, Dr. Akhmad Makhfatih, M.A., dalam diskusi antara perwakilan komisi XI DPR RI dengan beberapa pakar dari UGM, Kamis (21/4) di Gedung Pusat UGM.
Dalam kesempatan ini, ia memaparkan bahwa kebijakan serupa telah diterapkan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Australia. Namun pada kenyataannya, hasil yang diperoleh tidak terlalu menggembirakan karena peningkatan pemasukan pajak hanya berlangsung sementara. Dalam jangka panjang, pemberlakuan aturan seperti ini justru dapat memunculkan ketidakadilan antara para wajib pajak yang patuh dengan wajib pajak yang mungkin secara sengaja menghindari atau menggelapkan pajak.
Ia menilai pajak selayaknya menjadi bentuk kontribusi masyarakat terhadap penyelenggaraan negara, suatu wujud gotong royong yang dijalankan secara sukarela. Namun, menurutnya, filosofi seperti ini belum terlihat di Indonesia. Untuk mengharapkan bahwa pengampunan pajak dapat serta merta merubah perilaku wajib pajak, ia menjelaskan, sama halnya dengan meminum paracetamol ketika sakit. “Kelihatannya memang sembuh, tapi sebenarnya akar permasalahannya masih ada di sana, tidak ikut diobati,” ujarnya.
Olehkarena itu, perlu ada serangkaian kebijakan untuk mengedukasi wajib pajak, serta pemberlakuan sanksi yang tegas. Tanpa diikuti kebijakan yang mendukung, aturan ini bukan hanya tidak akan menunjukkan dampak positif, tetapi justru akan menimbulkan konversi, ketika wajib pajak yang patuh menjadi enggan membayar pajak karena mereka melihat bahwa wajib pajak yang tidak patuh pun tidak diberi hukuman.
Hal serupa juga disampaikan oleh pakar hukum pidana UGM, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum. Ia menekankan pentingnya memikirkan strategi jangka panjang untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak di masa mendatang.
“Jika ditanya apakah saya setuju dengan pengampunan pajak, saya dari perspektif hukum pidana mengatakan ya, karena paradigma hukum pidana saat ini tidak hanya untuk memasukkan orang ke dalam penjara. Tapi, amnesti pajak harus diikuti juga dengan strong law enforcement,” ujarnya.
Penegakan hukum menjadi hal yang diperlukan untuk menjalankan fungsi rehabilitatif, yaitu bagaimana membuat orang patuh dan berperilaku lebih baik. Hal ini salah satunya dilakukan dengan memperbarui ketentuan mengenai pajak sehingga perubahan yang dilakukan menjadi sesuatu yang menyeluruh, bukan sekadar untuk meningkatkan penerimaan pajak pada tahun ini saja. (Humas UGM/Gloria)