Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik untuk budidaya sapi perah dan sapi potong sudah dikenal di Indonesia sejak 1976. Meski sudah dikenal luas, teknik untuk memasukkan semen beku yang telah dicairkan bisa meningkatkan reproduksi namun di sisi lain pelaksanaan inseminasi ternyata berkontribusi dalam menyebabkan timbulnya gangguan kesuburuan pada sapi. “Inseminasi menyebabkan 30-50% persen sapi di Indonesia mengalami gangguan reproduksi,” kata Dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Dr. Drh. Prabowo Purwono, M.Phil., dalam workshop Gangguan Reproduksi dan Pelatihan USG pada Sapi di kampus FKH UGM, Rabu ( 27/4).
Munculnya gangguan reproduksi pada sapi ini, menurut Prabowo, disebabkan pelaksanaan IB yang kurang sesuai dengan aturan sehingga menyebabkan munculnya kasus anestrus (tidak birahi), repeat breading (kawin berulang), dan nimfomania (birahi terus menerus) pada sapi di kemudian hari. Diakui oleh Prabowo, baik dan buruk dari perlakukan kawin suntik juga ditentukan oleh faktor akseptornya. Apalagi, kekurangsuburan sapi muncul setelah adanya perlakuan IB. “Gangguan reproduksi melekat dari IB. Dampak negatif dari IB selama ini tidak pernah diungkap,” ujarnya.
Kesalahan akseptor IB di lapangan, katanya, dikarenakan pelaksana IB umumnya bukan dari kalangan praktisi dokter hewan. “Sebenarnya gangguan reprosuksi ranah dokter hewan namun kita tahu jumlah dokter hewan di Indonesia tidak banyak, sehingga dilakukan oleh para tenaga teknis pembantu,” ungkapnya.
Disamping itu, pelaksanaan IB di lapangan juga tidak didukung dengan prasarana yang menunjang dan kondisi sanitasi yang kurang baik. Akibatnya, pelaksanaan IB menjadi media masuknya infeksi bakteri dan jamur. “Pada saat IB tidak hanya semen yang didepositkan ke dalam korpus uteri namun kemungkinan adanya masuknya bakteri dan jamur,” ujarnya.
Dia menyebutkan kegagalan reproduksi sapi di Indonesia umumnya bersifat subklinis akibat infeksi bakteri dan jamur pada organ reproduksi sapi betina. Beberapa jenis bakteri dan jamur yang paling sering ditemukan diantaranya E.coli, Cornyebacterium pyogenes, Streptococus sp, staphylococcus sp, Aspergillus fumigator dan Candida Albicans.
Upaya pencegahan infeksi dan kontaminasi bakteri maupun jamur ke dalam lumen uterus dapat dilakukan dengan pelaksanaan sanitasi yang ketat saat pelaksanan IB. “Pekerjaan IB bukan pekerjaan main-main, membantu dokter hewan dalam program inseminasi buatan,” katanya.
Sementara peneliti FKH UGM lainnya, Dr. Drh. Surya Agus Prihatno menyampaikan hasil penelitiannya bahwa kasus gangguan reproduksi pada saat atau pascakelahiran pada sapi perah di Kabupaten Seleman sebesar 18,85 %. Gangguan reproduksi ini disebabkan karena kondisi sanitasi yang kurang baik ditambah pengalaman peternak yang masih minim. “Umumnya yang kita lihat terdapat kotoran di samping kandang, pengalaman beternak kurang dari 10 tahun dan sapi-sapi yang dibudidaya berasal dari program bantuan sosial,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)