Masyarakat Jawa biasa menyampaikan pesan-pesan moral melalui berbagai media seperti kesenian, dongeng, pitutur, piweling, serta ungkapan secara turun temurun. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam ungkapan budaya Jawa tersebut tidak hanya mengandung ajaran moral bagi kehidupan manusia terhadap sesamanya. Namun demikian, juga mengandung ajaran moral yang terkait dengan lingkungan hidup.
Dosen Fakultas Filsafat UGM, Dra. Sri Widayanti, M.S., mengatakan bahwa dalam ungkapan-ungkapan Jawa banyak yang mengandung nilai-nilai moral atau nilai etis lingkungan hidup. Ungkapan Jawa yang mengandung nilai-nilai etika lingkungan hidup menjadi dasar pelaksanaan prinsip-prinsip etika lingkungan Jawa dalam pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, juga menjadi konsep dasar pembangunan yang berwawasan lingkungan.
“Salah satu ungkapan yang mengandung etika orang Jawa dalam berinteraksi dengan lingkungan hidup terlihat dari ungkapan “Hamemayu Hayuning Bawana”,” katanya, Kamis (28/4) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Filsafat UGM.
Mempertahankan disertasi berjudul “Etika Lingkungan Dalam Ungkapan Budaya Jawa: Relevansinya Dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia”, Widayanti menyampaikan bahwa ungkapan Hamemayu Hayuning Bawana tersebut memiliki nilai etika lingkungan dalam hubungannya dengan membina kearifan lingkungan dalam kehidupan manusia. Ungkapan itu mengandung arti upaya menjaga keselamatan dunia dilakukan dengan cara menjaga kelestarian lingkungan karena kerusakaan alam dapat membawa bencana yang sangat merugikan.
“Ungkapan itu mengajarkan bahwa manusia harus menyelaraskan kehidupannya dengan aktivitas alam, peduli terhadap lingkungan,” jelasnya.
Nilai dan konsepsi yang terdapat dalam filosofi tersebut, kata Widayanti, menunjukkan dimensi yang lebih holistik. Dimensi imanensial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan dimensi manusia dan alam. Hal ini tidak ditemukan secara tegas dalam konsep “Sustainable Development”. Bahkan, gaya bahasa yang dipakai dalam slogan “Lingkungan Hidup adalah Titipan anak Cucu Kita” bersifat multitafsir. Misalnya, sebagian besar masyarakat Indonesia memahami konsep waris umumnya akan menghasilkan kualitas warisan yang lebih buruk karena lahan waris akan terbagi-bagi dalam luasan yang semakin kecil dan kurang produktif. Slogan tersebut dikhawatirkan dapat menjadi justifikasi terhadap habisnya sumber daya alam dan penurunan kualitas lingkungan hidup di masa mendatang.
Menurutnya, etika lingkungan Jawa mencerminkan nilai-nilai manusiawi yang pantas menjadi salah satu pedoman alternatif menghadapi tantangan modernisasi. Ia menilai etika lingkungan Jawa mampu dijadikan sebagai paradigma pembangunan yang berwawasan lingkungan. Disamping itu, sekaligus melengkapi kekurangan dalam paradigma “Sustainable Development” yang masih lebih mengutamakan pembangunan ekonomi yang lebih bersifat antroposentris atau menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Sementara etika lingkungan Jawa tidak hanya bersifat antroposentris aja, tetapi juga bersifat kosmosentris dan theosentris atau disebut antropokosmotheosentris. Manusia sebagai makhluk cipataan Tuhan memiliki keterkaitan kosmis atau hubungan timbal balik dengan alam semesta dan hubungan yang etis terhadap Tuhan maupun alam semesta. (Humas UGM/Ika).