Postfeminisme merupakan aliran feminisme gelombang ketiga yang lahir karena adanya persimpangan antara pemikiran feminisme dengan pemikiran postmoderen. Pemikiran postfeminisme berupaya mendekonstruksi pemahaman kesetaraan gender menjadi perbedaan gender.
Postfeminisme telah menyumbangkan sebuah gagasan baru yang menuntut pemikiran baru di era internet, konsumerisme, budaya selebriti, dan selfie. Pemikiran ini juga memberikan kritik terhadap cara pandang feminisme gelombang kedua yang memaknai seksualitas dan tubuh.
“ Postfeminisme menolak “politik” tubuh yang menekankan perbedaan antara tubuh perempuan dengan laki-laki. Paham ini mengevaluasi kembali ketegangan antara tubuh laki-laki dan perempuan dan memasukkan feminitas sebagai cara berada perempuan maupun laki-laki,” kata Dosen Fakultas Filsafat Fakultas Ilmu Budaya UI, Gadisa Arivia, Senin (2/5) dalam diskusi Postfeminisme and Pop Culture di Sekolah Pascasarjana UGM.
Gadisa menyampaikan postfeminisme mengemuka karena keterlibatan media pada tahun 1980-an yang membesar-besarkan keresahan perempuan akan pentingnya menjadi perempuan bebas dan mandiri. Ketika perempuan telah memiliki segalanya, mereka kemudian menjadi resah dan tidak bahagia. Perempuan yang telah memiliki karir dan pendidikan serta menolak menikah pun merasa cemas. Mereka menyadari sudah memiliki keterbatasan usia untuk memiliki anak dan merasa gelisah karen atelah keluar dari jalur ibu.
Saat itu, kata dia, media secara masif bergerak meliput perempuan-perempuan yang meskipun berkarier tetapi tetap memperhatikan keluarga dan bahagia berada di tengah keluarga. Kondisi ini mendorong para feminis urung memperjuangkan hak-hak perempuan. Adanya bias dalam pemberitaan menjadikan anggota organisasi perempuan turun secara drastis dan kepentingan laki-laki tidak terganggu. Media dinilai memainkan peran penting dalam menolak pemikiran arus utama itu dan mengedepankan istilah postfeminisme, menumbuhkan sikap antagonis pada generasi sebelumnya.
Gadisa menyebutkan postfeminisme ini mengevaluasi feminitas sebagai cara berada perempuan. Artikulasi feminitas seperti lipstik, sepatu tumit tinggi, berdandan glamour bukanlah hal yang berseberangan dengan kekuasaan perempuan. Memiliki tubuh seksi adalah hal wajar, bukan dimaknai tidak menghargai tubuh, bahkan di budaya media sudah menjadi obsesi. Obsesi tubuh terlihat mendominasi di acara program seri TV, termasuk dalam iklan-iklan.
“ Feminisme pada dasarnya terbuka dan terus melebarkan ruangnya untuk berbagai cara berada para feminis yang tentunya harus inklusif,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)