Gerakan Saemaul Undong yang digagas pemerintah Korea pada tahun 1970 menjadi pondasi bagi pertumbuhan Korea dari negara miskin menuju salah satu perekonomian terbesar dunia, dan telah diakui sebagai salah satu program pembangunan nasional yang paling berhasil. Hal ini mendorong Pusat Studi Tri Sakti dan Saemaul Undong (PSTS) Fakultas Filsafat UGM secara khusus mengkaji gerakan ini, sehingga nantinya dapat diimplementasikan secara luas dalam semangat membangun Indonesia dari pedesaan.
“Kerja sama ini diharapkan dapat membawa keuntungan yang besar bagi penguatan masyarakat pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya dari masyarakat,” ujar Kepala PSTS yang juga Dekan Fakultas Filsafat, Dr. Mukhtasar Syamsuddin, dalam seminar internasional bertajuk Community Empowerment and Cultural Preservation through Saemaul Undong Implementation, Selasa (3/5) di Auditorium Sekolah Pascasarjana.
Hingga akhir tahun 1960-an, sebagian besar warga Korea masih hidup dalam kemiskinan dengan kesenjangan antara wilayah pedesaan dan perkotaan yang terus terus bertambah. Kondisi ini membuat pemerintah Korea berinisiatif membuat gerakan yang diberi nama Saemaul Undong, yaitu suatu gerakan pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat dengan menekankan pada semangat ketekunan, swadaya, dan kerja sama. Keberhasilan gerakan ini dapat dilihat dengan peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga secara drastis dari 825 dolar menjadi 4.602 dolar dalam kurun waktu 10 tahun.
Keberhasilan ini menjadikan Korea sebagai salah satu pionir gerakan pembangunan melalui pemberdayaan desa, suatu gerakan yang kemudian berusaha diimitasi oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Persamaan latar belakang sejarah antara Indonesia dan Korea Selatan memberikan harapan bahwa program serupa yang berhasil dijalankan di Korea dapat pula diimplementasikan di Indonesia.
“Persamaan antara Korea Selatan dan Indonesia adalah bahwa kedua negara mewarisi sektor pedesaan berorientasi ekspor yang berlebihan pada masa pemerintahan kolonial. Namun, di Indonesia pembangunan pedesaan tampak belum tuntas seperti apa yang dilakukan di Korea Selatan,” papar Nur Aini Setiawati, Ph.D, salah satu pembicara dari Jurusan Sejarah UGM.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, implementasi awal gerakan Saemaul Undong telah dilaksanakan di tiga desa di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul melalui kerja sama antara Provinsi DIY dengan Provinsi Gyeongsangbuk-do Korea Selatan pada tahun 2008 silam. Hingga saat ini, program tersebut telah membawa keberhasilan dalam perbaikan infrastruktur desa, peningkatan pendapatan penduduk, penyediaan air bersih, dan peningkatan etos kerja warga desa.
Dalam penyelenggaraan seminarnya yang kedua, PSTS menghadirkan akademisi dari Korea, UGM, serta beberapa universitas lain di Jawa Tengah yang mengkaji perkembangan pedesaan di berbagai wilayah, khususnya terkait implementasi strategi pembangunan yang terinspirasi dari gerakan Saemaul Undong. Masing-masing pembicara menyampaikan temuan dari penelitian yang telah mereka lakukan, termasuk berbagai tantangan khusus yang dihadapi dalam masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda.
“Harapannya dapat dilakukan pengembangan masyarakat yang berkesinambungan berdasarkan kajian dari PSTS ini, dan gerakan Saemaul Undong dapat diterapkan untuk membangun Indonesia melalui desa,” ujar perwakilan dari Saemaul Globalizaion Foundation, Hong Seunghoon. (Humas UGM/Gloria)