Data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2014 menyebutkan bahwa 9,5% pengangguran di Indonesia merupakan alumni perguruan tinggi, termasuk di antaranya lulusan bergelar sarjana. Terjadinya pengangguran terdidik ini, salah satunya disebabkan karena tidak sesuainya kompetensi para lulusan dengan kebutuhan atau demand dunia usaha dan industri.
“Sering kali perusahaan itu salah sasaran dalam mencari tenaga kerja. Kalau memang perusahaan itu mencari tenaga yang langsung siap kerja seharusnya yang dicari adalah lulusan diploma yang memang dalam pendidikannya lebih banyak praktek,” ujar Ketua Program Vokasi Universitas Indonesia, Prof. Sigit Pranowo Hadiwardoyo, dalam jumpa pers Forum Pendidikan Tinggi Vokasi Indonesia (FPTVI), Senin (9/5) di Hotel Wisma Joglo.
Sigit yang saat ini menjabat sebagai ketua FPTVI menyayangkan bahwa di Indonesia, baik masyarakat maupun kalangan industri, masih belum terlalu mengenal pendidikan vokasi. Padahal, UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi telah menyebutkan program vokasi sebagai salah satu jalur pendidikan yang diselenggarakan oleh universitas/institut di samping program sarjana serta profesi.
Di sejumlah negara, program pendidikan vokasi telah menjadi tumpuan dalam membangun sistem kerja yang sukses memasuki persaingan global. Jerman, Perancis, Jepang, Korea, dan Thailand merupakan beberapa negara yang sukses membangun ekonomi dengan memanfaatkan program berbasis keterampilan kerja dalam pendidikan vokasi yang mampu menghasilkan tenaga kerja ahli di berbagai bidang.
“Kalau di negara maju ada komunikasi antara perguruan tinggi dan industri. Kita perlu menyamakan pemahaman tentang vokasi supaya masyarakat betul-betul paham, dan perlu dilakukan sosialisasi dengan industri,” tambahnya.
Kerja sama antara penyelenggara pendidikan vokasi dan industri, menurut Wakil Direktur Bidang Sumber Daya, Kerja Sama dan Pengembangan Program Diploma Institut Pertanian Bogor, Dr. D Iwan Riswandi, SE., MSi., rencananya akan dijalankan dalam 5 hal. Pertama, dalam penyusunan program dan kurikulum, kedua dalam penyediaan dosen ahli dan instruktur, dan yang ketiga dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, misalnya dengan menerima mahasiswa untuk magang di perusahaan atau dengan mendirikan lab factory di kampus. Selanjutnya, kerja sama juga akan diwujudkan melalui pemberian beasiswa serta pemberian sertifikasi bagi lulusan program vokasi oleh perusahaan-perusahaan yang kompeten di bidangnya.
Sertifikasi untuk lulusan vokasi, menurut Iwan, merupakan hal yang penting dimiliki agar kompetensi para lulusan memperoleh pengakuan dari dunia usaha dan industri. Karena itu, ini menjadi salah satu hal yang tengah diperjuangkan oleh FPTVI, mengingat saat ini jumlah tenaga kerja bersertifikasi di Indonesia masih sangat minim.
“Sertifikasi untuk profesi, misalnya dokter, advokat dan lainnya memang sudah banyak. Tapi, sertifikasi vokasi untuk keahlian tertentu jumlahnya masih sangat kecil,” ujarnya.
Terkait peningkatan kompetensi untuk lulusan program vokasi, Wakil Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Sekolah Vokasi UGM, Wikan Sakarinto, S.T., M.Sc., Ph.D., dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa UGM telah menetapkan standar kelulusan tertentu untuk memastikan agar nantinya lulusan Sekolah Vokasi memang memiliki kompetensi yang baik.
“Kalau di UGM, syarat untuk lulus Sekolah Vokasi pertama lulus seluruh kurikulum, kemudian syarat kedua dia harus juga memiliki sertifikat kompetensi. Jadi, seluruh prodi didorong kalau mahasiswa lulus itu sudah kita bekali dengan sertifikat,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)