Pada 19-21 April lalu berlangsung Sesi Khusus Sidang Umum PBB (UNGASS) terkait masalah narkoba dunia yang dihadiri seluruh negara anggota PBB beserta perwakilan berbagai lembaga internasional. Salah satu ilmuwan yang turut hadir dalam sidang tersebut adalah guru besar Fakultas Kedokteran UGM, Prof. Dr. Sri Suryawati. Ia hadir dalam kapasitasnya sebagai First-Vice President International Narcotics Control Board (INCB), lembaga quasi-judicial di bawah kantor Sekjen PBB yang bertugas mengawal dan memonitor implementasi konvensi internasional untuk narkotika, psikotropika, dan prekursor oleh seluruh negara di dunia.
Suryawati yang saat ini menjabat sebagai kepala Divisi Farmakologi Klinis dan Kebijakan Kesehatan, Departemen Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran UGM ini telah bertugas selama hampir sepuluh tahun atau dalam dua periode pemilihan di INCB, yaitu pada periode 2007-2012 dan 2013-2017. Ia terpilih menjadi anggota INCB berkat pengalaman internasionalnya di bidang manajemen obat, obat esensial, kebijakan obat, dan promosi penggunaan obat rasional di banyak negara.
Selama berkarier, Suryawati pernah memegang berbagai jabatan penting, diantaranya sebagai Penasehat Ahli WHO untuk Medicine Policy and Management sejak 1999, dan menjadi anggota berbagai Komite Ahli WHO, seperti Komite Ahli Pemilihan Obat Esensial WHO (2000-2007) dan Co-Chair Komite Ahli Obat-obat yang Menyebabkan Ketergantungan (2003-2006). Peran yang terakhir inilah yang mengangkat namanya, dan membuat ia dinominasikan oleh Dirjen WHO untuk dipilih oleh ECOSOC dalam pemilihan anggota INCB.
Suryawati menuturkan dalam sidang yang berlangsung di markas PBB di New York ini, dibahas usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan narkoba yang menjadi momok bagi banyak negara di dunia. Seluruh peserta sidang menyepakati bahwa masalah narkoba perlu diatasi tidak hanya dengan melipatgandakan upaya-upaya nasional, tetapi juga melalui penguatan kerja sama internasional.
“Upaya ini dilakukan dengan pendekatan yang berimbang, terintegrasi, dan berbasis bukti ilmiah berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama, serta didasarkan atas tiga konvensi internasional yang ada, yaitu Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Konvensi Psikotropika 1972, dan Konvensi Internasional Prekursor 1988,”katanya, Rabu (11/5).
Secara spesifik, pertemuan ini menghasilkan berbagai kesepakatan diantaranya terkait rekomendasi langkah-langkah operasional untuk menurunkan demand melalui pencegahan dan pengobatan penderita ketergantungan. Selain itu, langkah-langkah operasional untuk menurunkan supply melalui pengetatan dan penguatan kerja sama internasional untuk menghadapi kejahatan terkait narkoba, pencucian uang, dan kerja sama judisial.
Pada acara itu dihasilkan pula kesepakatan terkait penjaminan ketersediaan narkotika dan psikotropika yang dibutuhkan untuk medis dengan disertai pengawasan terhadap kemungkinan penyimpangannya. Peserta sidang juga menggarisbawahi pentingnya memperhatikan semua komponen masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis terhadap ketergantungan tanpa diskriminasi, khususnya pada kelompok-kelompok rentan seperti wanita dan anak-anak, serta penderita ketergantungan yang sedang menghadapi masalah hukum. (Humas UGM/Gloria)