Pengelolaan potensi kepesisiran, termasuk di dalamnya pengelolaan aspek proses-proses fisik, potensi sumber daya, regulasi, sosial budaya, keteknikan, penduduk dan lain sebagainya, perlu terus ditingkatkan sebagai bagian dari pembangunan geomaritim Indonesia. Pengelolaan kepesisiran ini pun bersinggungan dengan pengelolaan ekosistem lainnya, termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS). Untuk itu, perlu ada sinergi dalam pengelolaan keduanya melalui perencanaan tata ruang yang baik dan dengan melibatkan berbagai stakeholder.
“Tata ruang bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga milik rakyat. Pengelolaannya pun harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai stakeholder, yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta, serta dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu,” ujar Kepala Badan Informasi Geospasial, Dr. Priyadi Kardono, M.Sc., saat memberikan pidato kunci dalam Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai di Fakultas Geografi UGM, Kamis (12/5).
Pengelolaan DAS, menurutnya, perlu dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang dan pola pengelolaan sumber daya air sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam hal ini, BIG berperan untuk melakukan percepatan penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan pengintegrasian Informasi Geospasial Tematik (IGT) kepada pemerintah daerah dalam rangka penyelesaian penyusunan Perda Tata Ruang.
Namun, ia pun mengakui bahwa masih terdapat beberapa permasalahan terkait data dan informasi geospasial dalam pengelolaan wilayah. “Implementasi Pedoman Pemetaan Tata Ruang belum dapat dilaksanakan dengan baik karena ketersediaan IGT yang terbatas, baik dari skala dan cakupan pemetaan,” jelasnya.
Sementara itu, Guru Besar Penginderaan Jauh untuk Hidrologi dan Pengelolaan DAS, Prof. Dr. Totok Gunawan, M.S., menyampaikan pentingnya penggunaan teknologi penginderaan jauh sebagai bagian dari pengelolaan DAS dan pesisir. Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 17.000 DAS dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi. Teknologi penginderaan jauh dapat mengidentifikasi perbedaan dalam karakteristik ini yang selanjutnya digunakan untuk memahami potensi dan risiko bencana dari suatu wilayah tertentu.
Ia menyebutkan beberapa contoh wilayah DAS yang rawan bencana banjir sebagai akibat dari karakter geomorfologinya yang kurang baik, seperti DAS di Tondano, Noelmina, Garang, Ciliwung, serta Sampeyan. Persoalan seperti ini yang membuat fungsi penginderaan jauh menjadi sangat penting.
“Di DAS Tondano, terdapat wilayah yang menjadi titik kritis karena kemiringan lereng yang cukup besar, sehingga kecepatan aliran cukup tinggi, padahal jarak ke hilir tidak terlalu jauh. Akibatnya, daerah ini termasuk rawan banjir bandang,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Geomorfologi Pesisir Fakultas Geografi, Prof. Dr. Sunarto, M.S., menyampaikan bahwa pengelolaan pesisir dan DAS perlu menggabungkan pendekatan keruangan (geografi) dengan pendekatan fungsional (ekologi), mengingat perbedaan karakter bentang lahan menuntut perlakuan yang berbeda pula.
“Untuk pengelolaan pesisir dan DAS, pengelola harus tahu benar hakikat dan karakter objek yang akan dikelola,” ujarnya.
Seminar kali ini merupakan seminar nasional kedua yang diadakan oleh Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) yang memfokuskan kepada program pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terkait dengan aspek kepesisiran dan DAS. Dalam kegiatan ini turut dipresentasikan 89 makalah yang membahas mengenai ekosistem, tata ruang pesisir, manajemen bencana, teknologi geospasial, serta aspek-aspek dalam pengelolaan pesisir dan DAS. (Humas UGM/Gloria)