Siapa tidak kenal dengan Bali? Pulau yang menyimpan berbagai keindahan alam dan budaya ini menjadi salah satu destinasi wisata utama di Indonesia yang mendunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, Bali tengah gencar mengembangkan ekowisata di berbagai kabupaten di sana. Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Dr. I Nyoman Sukma Arida, menyebutkan terdapat tiga tipologi ekowisata di Bali apabila dilihat dari sisi aktor utama penggerak wisata. Pertama, ekowisata yang digerakkan oleh investor atau tipe investor. Kedua, ekowisata yang digerakkan oleh masyarakat atau tipe masyarakat. Ketiga, ekowisata yang digerakkan oleh pemerintah atau tipe pemerintah.
“Ekowisata Bali yang cenderung berpola tiga ini saya namakan sebagai ekowisata tri ning tri,” katanya saat bedah buku yang berjudul Dinamika Ekowisata Tri Ning Tri di Bali, Senin (16/5) di Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM.
Dalam bukunya itu Sukma menjelaskan ekowisata di Bali yang menunjukkan kecenderungan berpola tiga ini tak lepas dari kegemaran masyarakat Bali dalam mengkonseptualisasikan gagasan dan kearifan lokalnya dengan rumusan berpola tiga. Misalnya, pada masyarakat Bali memiliki rumusan Tri Kaya Parisuda, Tri Hita Karana, Tri Rna, dan Tri Mandala.
Sukma menuturkan bahwa masing-masing tipe memiliki tingkat kesuaian yang berbeda-beda dengan prinsip-prinsip ekowisata, sehingga bisa dikelompokkan ke dalam ekowisata utama, madya, dan nista. Beberapa sikap hidup masyarakat Bali seperti rwa bhineda, paduwen sareng, dan nempahang rage membuat masing-masing tipe ekowisata bisa berkembang berdampingan secara harmonis di Bali, tanpa meniadakan satu sama lain.
Pada tiga desa yang diteliti Sukma diketahui karakteristik masing-masing tipe cenderung bergeser kearah tipe hibrid. Pergeseran tersebut terjadi sebagai akibat proses interkasi dengan stakeholder yang beragam. Ekowisata yang masuk ke suatu desa akan diimprovisasikan sesuai dengan potensi sumber daya yang tersedia dan keunikan stakeholder yang terlibat di dalam pengelolaan ekowisata.
Sementara, kemampuan mengolah segala bentuk ekowisata yang datang dari luar tersebut, dikatakan Sukma, berpadu dengan sikap hidup rwa bhineda. Hal tersebut mengakibatkan kepariwisataan yang datang, masuk, kemudian berkembang di Bali ditransformasikan menjadi sebuah bentuk baru. (Humas UGM/Ika)