Fenomena kekerasan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sungguh sangat memprihatinkan. Kekerasan tersebut bersifat fisik maupun psikis, bersifat langsung maupun tidak langsung. Guna menanggulangi semakin maraknya tindak kekerasan di kalangan remaja, pada Selasa (18/5) lalu diadakan diskusi Program Pengabdian Pada Masyarakat berbasis ESD yang dikembangkan oleh Drs. Hadi Sutarmanto, M.S, dan rekan-rekannya.
Tema utama yang diperbincangkan dalam diskusi tersebut yaitu akar permasalahan dan sekaligus model solusi dalam mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan remaja di Kota Yogyakarta, khususnya pelajar SMA. Diskusi berlangsung di Pusat Studi Pancasila, dipandu oleh Dr. Heri Santoso (Kepala PSP UGM), serta menghadirkan psikolog, guru, pimpinan sekolah, komite sekolah, siswa dan pejabat dari dinas pendidikan Kota Yogyakarta, Badan Kesbangpol DIY, dan Polda DIY.
Menurut Heri Santoso diskusi berlangsung seru dan konstruktif. Para peserta menyadari bahwa fenomena kekerasan pada remaja di Indonesia, termasuk di Yogyakarta sudah sampai pada situasi yang sangat memprihatinkan. Jika ditinjau dari akar masalahnya, tidak ada faktor tunggal yang dianggap sebagai pemicu kekerasan, melainkan banyak faktor yang berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung yang memicu timbulnya kekerasan.
“Fakta tentang banyaknya fenomena kekerasan memang tidak boleh dipungkiri, namun sikap yang harus ditonjolkan adalah mengambil pelajaran sekaligus segera mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya,”kata Heri.
Pada diskusi tersebut juga mengemuka bahwa pemerintah memang telah mengeluarkan kebijakan berupa Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Satuan Pendidikan, namun hingga saat ini kebijakan tersebut belum sepenuhnya diimplementasikan. Hal tersebut mungkin dikarenakan kurangnya informasi, dukungan, dan komitmen dari berbagai pihak untuk menyukseskannya.
Para peserta diskusi bersepakat bahwa sekolah dewasa ini sangat terbebani dengan stereotype yang berkembang di masyarakat dan sekolah adalah satu-satunya lembaga yang harus bertanggung jawab jika terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja.
Padahal, sesungguhnya berdasarkan data yang dihimpun serta pengakuan dan penelusuran dari pihak sekolah, siswa-siswi yang “bermasalah” biasanya dilatarbelakangi oleh kondisi keluarga, dan lingkungan (pergaulan) yang senantiasa ‘mereproduksi’ kekerasan. Berdasarkan hal tersebut, direkomendasikan perlunya pengembangan program dan kurikulum untuk keluarga dan masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan. Para orang tua siswa tidak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap anak-anak usia remaja ini. Mereka seolah-olah sudah terbebas dari tanggung jawab bila telah memasrahkan anaknya ke sekolah dan membiayainya (Humas UGM/Tri)