Teliti media, sepak bola dan konflik kepentingan, Afdal Makkuraga Putra raih gelar doktor. Sekretaris Bidang Studi Broadcasting Fikom Universitas Mercu Buana berhasil meraih gelar doktor Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM, setelah mempertahankan disertasi berjudul Media, sepak Bola, dan Konflik Kepentingan (Tinjauan Wacana Kritis Pemberitaan Konflik Kepengurusan Sepak Bola Indonesia Tahun 2010 – 2012 di Tiga Surat Kabar Ibukota).
Menurut Afdal Makkuraga pemberitaan konflik kepengurusan dalam tubuh persepakbolaan Indonesia ditengarai media massa mengkonstruksi konflik tersebut sebagai komoditas (nilai jual), dan media seolah-olah menciptakan dua kelompok yang saling berhadapan-hadapan. Media bahkan mendramatisasi konflik tersebut sedemikian rupa sehingga menarik untuk diikuti.
Dari hasil analisis teks, manuskrip, wawancara dan pengamatan langsung, Afdal menemukan beberapa kecenderungan umum yang menjadi tren dalam produksi dan distribusi teks media seputar konflik kepengurusan sepak bola Indonesia di tiga media cetak ibukota. Menurut Afdal industri media, Kompas, Bola dan Sindo berusaha memproduksi teks-teks pemberitaan konflik sepak bola di Indonesia dalam rangka menjaga agar institusi bisnis mereka tetap terjaga.
“Ketiga media tersebut terlihat tunduk pada kepentingan pasar dan tunduk pada kepentingan elit-elit sepak bola nasional. Karena itu, ketiga media menyajikan berita konflik persepakbolaan Indonesia dalam methapora pertarungan,” ujar Afadal Makkuraga saat ujian terbuka di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (23/5).
Afdal menjelaskan ketiga media mengkonstruksi pihak-pihak yang berkonflik dalam dua kategori yang saling berhadap-hadapan, yakni, kelompok reformis dan kelompok status quo. Kelompok reformis direpresentasikan ingin memperbaharui persepakbolaan Indonesia dengan jalan mengganti Liga Super Indonesia (ISL) dengan Liga Primer Indonesia (LPI) dengan aktor-aktor yang terlibat antara lain Arifin Panigoro, George Toisutta, Saleh Mukadar dan lain-lain.
“Sedangkan kelompok status quo direpresentasikan sebagai kelompok yang mempertahankan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI dan Liga Super Indonesia tetap sebagai kompetisi resmi PSSI, dengan aktor-aktor yang terlibat antara lain Nurdin Halid, Nirwan D. Bakrie, Nugraha Besoes dan lain-lain,” jelas Afdal didampingi tim promotor Prof. Dr. Heru Nugroho dan Dr. Budiawan.
Jika dilihat dari sisi penggunaan narasumber, produksi teks tiga media ini bersifat elitis. Hampir semua narasumber yang dikutip umumnya berasal dari dua kelompok yang berseteru sehingga nuansa pemberitaan tidak pernah keluar dari angel konflik. Wartawan pada akhirnya belum mampu beranjak dari model penulisan berita model “jurnalisme perang/konflik” dengan cirinya yang selalu mendikotomi pihak-pihak yang berkonflik sehingga membela salah satu yang berkonflik.
Cara penulisan berita seperti ini, kata Afdal, menunjukkan meskipun sistem pers Indonesia lebih liberal dibanding Orde Baru, namun model jurnalisme konvensional (information journalism) belum mampu bergeser ke jurnalisme publik (public journalism). Jurnalisme publik bertujuan dan berusaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sipil dengan mendorong partisipasi dan debat.
“Jurnalisme publik mewajibkan media menyediakan informasi yang berkualitas kepada publik bukan atas dasar selera pasar atau selera pembaca. Karena itu, meski zaman telah berubah, gaya pemberitaan semacam Kompas pun belum berubah,” katanya. (Humas UGM/ Agung)