Asosiasi negara-negara di kawasan Samudera Hindia atau “Indian Ocean Rim Association” (IORA) mungkin masih asing di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan, mungkin masih asing di dunia pendidikan, sekolah-sekolah, maupun perguruan tinggi.
Padahal, Samudera Hindia adalah halaman depan dari Indonesia, negara yang memiliki perbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sebagai samudera terbesar ketiga, Samudera Hindia menyediakan sumber kehidupan bagi nelayan. Selain itu, secara georafis dan geo-strategis menjadi sangat penting dalam konteks kepentingan ekonomi dan juga pertahanan keamanan global.
“Dilihat dari kepentingan ekonomi, Samudera Hindia memiliki potensi yang sangat prospektif, diantaranya pasar yang besar dengan jumlah penduduk sekitar 2,5 milyar. Sementara sekitar 70 persen perdagangan dunia melewati kawasan ini,” kata Totok Prianamto, Kepala Badan Kerja Sama dan Penanaman Modal (BKPM) DIY, di Balai Senat UGM, Kamis (26/5).
Membacakan sambutan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, pada Seminar Sosialisasi IORA, Totok mengatakan Samudera Hindia juga menyimpan cadangan minyak dunia sebesar 55 persen dan 40 persen cadangan gas dunia. Samudera ini pun memproduksi 1/3 produksi tuna dunia serta menyimpan berbagai cadangan mineral yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka DIY yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia mengarahkan pembangunan menuju orientasi kemaritiman. Visi pembangunan jangka menengah dengan adagium “Dari Among Tani Ke Dagang Layar”, tampaknya perlu ditempuh karena selama ini orientasi pembangunan DIY hanya bertumpu wilayah utara yang sebagian besar berbasis agraris (among tani).
“Di masa mendatang, orientasi pembangunan diarahkan ke wilayah selatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan lebih fokus pada sektor maritim dan dagang layar,” jelas Totok Prianamto.
Benyamin Carnadi, Direktur Kerja Sama Mitra Kawasan Pasifik & Afrika, Kemenlu RI, mengungkapkan dengan posisi strategis yang dimiliki Indonesia memiliki banyak keuntungan. Keuntungan tersebut, yaitu berada diantara dua samudera, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta daerah kepulauan yang menjadikan Indonesia memiliki double identity.
Menurut Totok sejarah nenek moyang memperlihatkan bahwa wajah Indonesia adalah kemaritiman. Negara yang memiliki identitas sebagai negara kelautan.
“Hanya di akhir-akhir ini, di abad 20 kesini kita lebih berkiprah di Asean, APEC yang condong ke wilayah pasifik. Jadi wajah pasifik yang lebih mengemuka, karena itu kita mohon masukan civitas akademika UGM dan perguruan tinggi sekitar untuk kepentingan ini,” katanya.
Dr. Paripurna P. Sugarda, S.H., L.L.M, Wakil Rektor UGM Bidang Kerja Sama dan Alumni, menambahkan IORA ini beranggotakan 21 negara di seputar Samudera Hindia. Periode 2015 -2017, Indonesia dipercaya sebagai chairman dari asosiasi IORA.
“Karena itu penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan posisi ini untuk menguatkan hubungan antar berbagai negara. Kita bisa memanfaatkan sebaik mungkin posisi asosiasi ini di kancah pergaulan internasional,” tuturnya.
Seminar Sosialisasi IORA merupakan hasil kerja sama Kementerian Luar Negeri RI, Pemerintah Daerah DIY dan Universitas Gadjah Mada. Seminar menghadirkan empat pembicara, yaitu Riaz Saehu, Dit. KSI ASPASAF, Kemlu RI, yang mengangkat topik “IORA dan Kekuatan Indonesia 2015-2017, Prof. dr. M. Abdul Karim, M.A, UIN Sunan Kalijaga, mengupas “Memahami Pengaruh Budaya dari Negara-Negara Lingkar Samudera Hindia dalam Kontekstualisasi Budaya dan Kearifan Lokal DIY”, Totok Prianamto, Kepala BKPM DIY, mengupas “Menilik Potensi Pengembangan Investasi di DIY dengan Negara Anggota IORA” dan Suadi, Ph.D., yang mengurai tentang “Pemanfaatan Kekayaan Laut di Kawasan Samudera Hindia: Perspektif DIY”. (Humas UGM/ Agung)