Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, merilis daftar 12 kota cerdas (smart city) di Indonesia yang dinilai berhasil memanfaatkan teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan. Dari 12 kota sekunder di Indonesia yang disurvei sebagai kota cerdas tersebut, Surabaya menempati peringkat pertama, disusul Bandung, Makasar, Semarang, Yogyakarta dan Surakarta. Selanjutnya, Palembang, Denpasar, Samarinda, Medan, Ambon, dan Jayapura. Riset ini dilakukan selama kurang lebih satu tahun dengan menggunakan 57 indikator kriteria penilaian, diantaranya menilai dampak dari hasil inovasi dan berbagai aplikasi TIK yang dibuat pemerintah dalam melayani warga di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, transportasi dan kebutuhan masyarakat miskin.
Direktur Eksekutif CfDS, Dr. Nanang Pamuji Mugasejati, mengatakan keberhasilan masing-masing pemerintah kota dalam memanfaatkan TIK dalam tata kelola pemerintahannya tidak lepas dari kreativitas kepala daerah masing-masing. “Mereka yang peduli akan labih banyak aplikasi TIK dalam melayani warga,” kata Nanang kepada Wartawan, Jumat (27/5).
Masuknya kota Surabaya dan Bandung dalam daftar pertama dan kedua, kata Nanang, semakin menegaskan kemampuan Risma dan Ridwan Kamil yang selama ini dikenal berhasil memimpin daerahnya masing-masing. Menurutnya, keberhasilan seorang kepala daerah dalam memanfaatkan teknologi digital menjadikan partisipasi warganya makin lebih besar dalam menyelesaikan persoalan secara bersama-sama. “Demokrasi digital e-government memberi peluang untuk mendorong transformasi Indonesia makin terbuka. Kita berharap akan muncul pemimpin baru yang tumbuh dari masyarakat digital lebih pastisipatif dan tidak korup,” jelasnya.
Diakui Nanang, fenomena masyarakat digital sudah sangat nyata di masyarakat namun belum dimanfaatkan secara optimal oleh daerah. Bahkan, belum banyak yang menyadari bahwa pada dasarnya diperlukan adaptasi untuk dapat benar-benar memanfaatkan fenomena ini, terutama dalam sisi penyelesaian permasalahan sosial. “Masalahnya selama ini daerah selalu terkendala infrastruktur, kesiapan pemerintah dan kesiapan masyarakat. Kita lihat banyak website pemerintah yang tidak optimal karena tidak ada interaksi dari masyarakat,” terangnya.
Peneliti CfDS, Viyasa Rahya Putra, mengatakan pemilihan 12 kota cerdas ini tidak didasarkan pada aktif dan tidaknya seorang pemimpin daerah di ruang media sosial namun betul-betul dinilai dari program yang dijalankan pemerintah lewat TIK. “Kita menilai program yang konkret lewat ICT,” terangnya.
Ia menambahkan pemilihan 12 kota tersebut dinilai karena dianggap sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, pusat ekonomi kreatif dan pusat interaksi sosial. “Kita meyakini kota-kota sekunder ini sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, ekonomi kretif dan ekonomi baru, serta tumbuhnya interaksi sosial di masyarakat,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)