Globalisasi melahirkan kolaborasi, persaingan dan peningkatan daya saing. Hal ini berlaku pula di dunia pendidikan tinggi disaat globalisasi mendorong lahirnya universitas kelas dunia (world class university).
Sementara itu, internasionalisasi menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh berbagai negara dalam merespons globalisasi yang tengah berlangsung. Dengan tidak menghilangkan jati diri suatu bangsa, internasionalisasi pun memaksa pendidikan tinggi melakukan kerja sama tingkat internasional.
“Dengan kerja sama tersebut maka melalui berbagai program dan kegiatan internasional diintegrasikan dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat,” ujar Retno Sunu Astuti di Auditorium Fisipol UGM, Jum’at (27/5).
Menurut Retno Astuti banyak negara di kawasan Asia yang sebagian besar merupakan negara berkembang, internasionalisasinya dianggap sebagai strategi untuk meningkatkan kualitas universitas dan mengubah budaya organisasi. Namun, masifnya pendidikan tinggi yang mengalami pertumbuhan sangat cepat mendorong munculnya kepentingan negara-negara maju untuk melakukan ekspor produk dan jasa pendidikan sebagai bagian penting dari kebijakan luar negeri.
“Di masa lalu, negara-negara maju menganggap berbagai jenis kegiatan pendidikan ditujukan untuk membantu negara berkembang melalui program budaya, namun sekarang telah menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekspor dalam berbagai jenis program internasionalisasi,” tutur Retno saat ujian terbuka guna memperoleh gelar doktor ilmu politik dari Fisipol UGM.
Karena telah terjadi pergeseran tujuan internasionalisasi di negara-negara maju yang direspons negara-negara berkembang melalui berbagai program kerja sama dengan perguruan tinggi di luar negeri, Retno Astuti beranggapan penting melakukan eksplorasi faktor pendorong internasionalisasi yang telah melahirkan variasi program internasionalisasi di Indonesia. Bahkan, tidak selamanya internasionalisasi program di Indonesia berkomitmen kuat pada mutu pendidikan sehingga kurang memberikan hasil yang diharapkan.
Internasionalisasi dan kerja sama internasional sering sekadar menjadi ikon komersial yang menarik untuk diperdagangkan dan mudah direspons positif oleh pasar. Banyak program dirancang, kegiatan dilakukan, kerja sama dibuat hanya untuk sekadar mendapat keuntungan ekonomi.
“Banyak pendidikan berlabel internasional, namun kenyataan mutu lokal. Hal ini berakibat program internasionalisasi tidak efisien dan tidak berpengaruh signifikan terhadap perbaikan mutu,” kata dosen Prodi Administrasi Publik, Fisip UNDIP tersebut.
Mempertahankan disertasi Variasi Internasionalisasi Pendidikan tinggi di Indonesia: Faktor Pendorong dan Strategi, Retno Astuti dalam ujian terbuka didampingi promotor Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA dan ko-promotor Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si dan Dr. Phil. Gabriel Lele, M.Si. Menurut Retno Astuti terdapat kecenderungan internasionalisasi pendidikan tinggi yang diimplementasikan oleh perguruan tinggi di Indonesia sebagai pendekatan yang bersifat kuantitatif. Akibatnya, internasionalisasi pendidikan tinggi dipandang dalam batasan penyelenggaraan jumlah program-program yang didanai dan difasilitasi institusi maupun individu untuk mendapatkan kesempatan terlibat di dalam aktivitas internasional, seperti mobilitas staf, riset, penyelenggaraan kelas internasional berbahasa Inggris dan jaringan hubungan.
“Sebagian universitas memahami internasionalisasi bersifat instrumental saja, artinya internasionalisasi dianggap sebagai tujuan bukan cara mencapai tujuan internasionalisasi. Hal ini menunjukkan adanya kesalahpahaman dalam memaknai internasionalisasi,” papar perempuan kelahiran Semarang, 18 Desember 1962. (Humas UGM/ Agung)