Pembatasan hak politik melalui parliamentary threshold merupakan hal lazim dalam pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional. Dalam pelaksanaan parliamentary threshold pasca reformasi selalu terjadi perubahan dalam penetapan besaran ambang batas parlemen dan ambang batas peserta pemilu.
Diawali dari pemilu tahun 1999 yang dilaksanakan tanpa ambang batas menghasilkan jumlah suara terbuang 3,55 %. Kemudian pemilu 2004 dengan ambang batas parlemen 3 % menghasilkan 17,33 % suara terbuang. Pemilu 2009 dengan ambang batas parlemen 2,5 % menghasilkan jumlah suara terbuang sebanyak 18,31 %.
“Jika dikomparasi dengan teori ambang batas perwakilan optimal yang diformulasikan Taagepera, maka ambang batas 2,5 % sudah sangat melampaui ambang batas optimal,” kata Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H., Senin (30/5) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum UGM.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) ini menyebutkan semakin besar angka ambang batas akan memperbanyak suara terbuang. Banyaknya suara terbuang mengakibatkan banyak suara yang tidak terwakili. Hal ini bertentangan dengan pasal 1 ayat 2 UUD RI 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU Dasar”. Desain pasal 1 ayat 2 UUD ini menjelaskan bahwa makna kedaulatan rakyat diantaranya dilakukan melalui pemilu yang mengacu pada asas-asas pemilu.
“Alasan konstitusionalnya bahwa suara terbuang merupakan penghilangan hak warga negara untuk memilih. Hak ini terdapat dalam hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi berupa persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan,”paparnya.
Mempertahankan disertasi berjudul Pembatasan Hak Politik dalam Sistem Demokrasi di Indonesia, Sunny menuturkan tingginya persentase parlieamentary threshold dan electoral threshold yang diterapkan mengakibatkan suara yang terbuang menjadi cukup banyak. Hal tersebut menyebabkan hasil pemilu tidak proporsional karena tidak mewakili suara rakyat yang sesungguhnya.
“Hal ini dapat mengakibatkan tidak terselenggarakannya praktik demokrasi,” terangnya.
Sunny berharap kedepan ketentuan pembatasan hak politik melalui parliamentary threshold dan electoral threshold bisa sesuai dengan sistem demokrasi di Indonesia menggunakan rumus rasionalitas yang meminimalisasi suara terbuang. Menurutnya, pembentukan undang-undang tidak seharusnya menetapkan persentase angka parliamentary threshold dan electoral threshold tersebut dengan deviasi yang terlalu tinggi dari angka rasionalitas perwakilan.
“Pembentukan UU harus memenuhi hak dan kewajiban seluruh warga negara yang memiliki hak memilih dan dipilih dengan memperhatikan kultur maupun keberagaman masyarakat Indonesia,”pungkasnya. (Humas UGM/Ika)