Pancasila sebagai nilai dan tata nilai tidak bisa berdiri sendiri. Pancasila harus didirikan dan tidak bisa tegak berdiri, kecuali ditegakkan. Ibarat foto, Pancasila adalah bingkai, yaitu bingkai di luar foto.
“Bingkai paling utama adalah yang bersifat konstitusional, bingkai moral penyelenggara negara dan yang ketiga adalah bingkai tentang imunitas untuk menghadapi intervensi. Baik intervensi secara perspektif atau intervensi pada pilar-pilar pokok kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata KH. Hasyim Muzadi, di Balai senat UGM, Rabu (1/6) saat berlangsung Konggres Pancasila ke-8.
Hasyim Muzadi mengatakan saktinya Pancasila sesungguhnya bukan terletak pada teks dan maknanya, namun saktinya Pancasila karena perimbangan kekuatan heterogen yang ada di Indonesia. Karena kalau dibawa ke kiri, paham kanan ribut. Demikian juga sebaliknya, jika dibawa ke kanan maka yang kiri akan bereaksi.
“Misalnya sewaktu ada terorisme maka yang ribut Pancasila beneran sama yang kiri. Tapi begitu kabar PKI muncul muntub-muntub, maka Pancasila beneran dan kanan bereaksi. Jadi keseimbangan reaktif di dalam harmoni itulah letak kekuatan Pancasila,” ungkap anggota Dewan Pertimbangan Presiden tersebut.
Sementara itu, sehari sebelumnya, Prof. dr. Sutaryo, Sp.A(K)., tim ahli dari Pusat Studi Pancasila UGM, menyatakan untuk mencari dasar negara yang dapat mempersatukan seluruh bangsa maka dasar negara harus digali sedalam-dalamnya dari dalam jiwa masyarakat. Pancasila harus diambil dari sari pati bumi kepribadian bangsa Indonesia.
“Karena itu, Pancasila cocok untuk bangsa Indonesia. Pancasila sebagai meja statis, sebagai bintang penunjuk untuk mencapai masyarakat adil dan makmur spirit material dan spirit spiritual,” katanya.
Pembicara lainnya, Dr. Ir. Siswono Yudo Husodo., menyampaikan panel kedaulatan dalam bidang politik. Siswono menyampaikan gagasannya tentang keadaan politik Indonesia akhir-akhir ini. Ia melihat telah terjadi krisis kepercayaan rakyat karena kancah politik bukan lagi sebagai upaya untuk menyejahterakan rakyat tetapi perebutan kursi kekuasaan.
“Jika hal itu terjadi secara berkepanjangan akan menimbulkan kemerosotan moral bangsa. Maka, menjadi tugas kita untuk memperbaiki moral tersebut,” tutur Siswono. (Humas UGM/Agung-Tri)