Di tengah kemudahan dan kemandirian fotografis di masyarakat, keberadaan studio potret tetap tidak tergoyahkan. Tersedianya ruang eksplorasi bagi sitter berikut kemudahan-kemudahan yang ditawarkan merupakan salah satu penyebab bertahannya studio potret. Studio potret masa kini pun dapat dikatakan menjadi sebuah ‘kotak imajinasi’ bagi para sitter.
“Praktik potret di studio foto dapat dipandang sebagai sebuah arena. Sitter, fotografer, dan desainer foto merupakan tiga pemainnya. Masing-masing pemain memiliki modal yang berbeda,” ujar Irwandi S.Sn., M.Sn., saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Rabu (1/6) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Dalam disertasinya, dosen Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini meneliti retorika fotografis remaja putri dalam praktik studio potret di Yogyakarta. Hal ini dilatarbelakangi keinginannya untuk lebih memahami bagaimana karya fotografi, khususnya fotografi potret, digunakan sebagai media persuasi oleh pihak-pihak yang terlibat.
“Studi ini merupakan upaya membaca retorika fotografis yang tampak pada karya foto potret dengan mempertimbangkan kreasi artistik, peran sitter, fotografer, dan desainer foto sebagai upaya sinergis. Dengan kata lain, fotografi potret studio di sini didudukkan sebagai salah satu material budaya yang diproduksi, diwujudkan, dan dipahami dalam konteks sosial tertentu,” ujarnya.
Praktik fotografi potret bagi remaja putri, menurutnya, hingga saat ini masih menawarkan daya pikat tersendiri. Meski demikian, pada praktiknya desainer foto dan fotografer menjadi pemain yang paling dominan ketika sitter hanya memiliki modal ekonomi yang lemah dalam arena praktik studio potret. Dan disadari atau tidak, demi sebuah fantasi, tanpa terasa sitter rela menempatkan dirinya menjadi objek eksplorasi bagi fotografer dan desainer foto.
“Foto-foto potret remaja putri bila dipahami dari sisi viewer-nya masih mewakili tatapan pria. Para sitter menyediakan diri sebagai pihak yang dilihat, dan atribut-atribut sensualitas sitter hadir dominan dalam karya potret,” imbuhnya.
Ia pun menyoroti perkembangan teknologi informasi dan teknologi fotografi digital yang berdampak langsung pada perubahan kreasi artistik yang berlangsung dalam perwujudan foto potret. Pada masa kini, ia menjelaskan, tahapan krusial yang menentukan wujud artistik foto bukan lagi di tahapan pemotretan, melainkan terjadi setelah itu pada proses editing.
Namun, tambahnya, perkembangan teknologi bukanlah satu-satunya pembentuk kreasi artistik dan retorika masa kini. Berkurangnya permintaan jasa cuci-cetak foto secara signifikan dalam perjalanan sejarah peralihan fotografi analog menuju fotografi digital telah memaksa pelaku bisnis fotografi untuk berbuat lebih dari sekadar menjual nilai ‘ekstrinsik’ selembar foto, tetapi juga nilai ‘intrinsik’ karya-karyanya.
Bagi Irwandi, studi ini merupakan bentuk upayanya untuk mengungkapkan refleksi budaya dari praktik foto potret serta untuk berkontribusi terhadap wacana kajian fotografi. “Studi ini dapat dikatakan sebagai upaya untuk berkontribusi dalam pengayaan wacana kajian fotografi di Indonesia yang masih lebih sering berkutat di wilayah-wilayah artistik,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria-Agung)