Jumlah perokok di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sementara itu, upaya pengendalian tembakau untuk membatasi konsumsi rokok belum berjalan secara optimal. Padahal, konsumsi rokok secara jelas berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat
“Konsumsi rokok Indonesia terus naik, bahkan 36,3 % perokok aktif berasal dari kalangan remaja laki-laki. Tidak hanya itu 73,3 % pria di atas 15 tahun pun rentan terhadap rokok,” tutur Dr. Nathalia C Tjandra, Senin (6/6) saat mengisi kuliah umum di Fakultas kedokteran UGM.
Dosen marketing The Business School, Edinburg Napier University, London, ini mengatakan upaya kontrol rokok di Indonesia tidaklah mudah dan menghadapi berbagai tantangan. Tidak seperti di sejumlah negara maju yang telah berhasil mengendalikan rokok secara efektif, Indonesia masih saja kesulitan mengontrol distribusi rokok di dalam negeri.
Misalnya, Australia telah berhasil menjalankan kebijakan kemasan rokok polos dalam pengendalian dampak konsumsi rokok. Pemerintah Australia berhasil memaksa produsen rokok untuk menghilangkan seluruh bagian penting produk rokok seperti merek dagang, warna kemasan rokok, dan lainnya yang menjadi identitas sebuah produk rokok.
Sementara, kata dia, pemerintah Indonesia belum mampu menjalankan kebijakan serupa. Bahkan, sampai saat ini Indonesia pun belum menandatangani dan meratifikasi konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC). Indonesia merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia yang belum tergabung dalam keanggotaan FCTC.
Kenyataan bahwa industri rokok masih menjadi salah satu industri penghasil pendapatan terbesar negara masih menjadi pertimbangan untuk membatasi industri rokok ini. Disamping itu, industri ini mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai proses produksinya hingga pemasarannya.
“Tembakau belum bisa dipangkas selama belum ada industri alternatif,” ujarnya.
Meskipun pemerintah telah mengampanyekan bahaya rokok dengan gencar ke masyarakat, nampaknya upaya ini belum memberikan hasil yang signifikan. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah perokok dari tahun ke tahun, terutama generasi muda. Kuatnya upaya pemasaran, promosi, sponsorship dan lainnya yang dilakukan oleh perusahaan rokok disinyalir sebagai faktor yang memengaruhi peningkatan jumlah perokok muda.
“Iklan rokok saat ini banyak dibuat dengan menyasar generasi muda. Dalam iklan pun dikemas informasi yang menebarkan opini positif tentang rokok ke masyarakat,” jelasnya.
Rokok digambarkan sebagai barang yang menarik untuk mencitrakan sosok yang maskulin, penuh petualangan, kebersamaan, dan hal-hal menarik lainnya. Sementara efek samping konsumsi rokok tidak disampaikan secara jelas. Akibatnya, pandangan masyarakat ke perusahaan rokok masih bersifat positif, bukan sesuatu yang membahayakan kesehatan dan generasi muda. (Humas UGM/Ika)