Masih banyak petani dan peternak belum paham betul tentang integrated farming. Sebagai bukti, masih banyak dijumpai penumpukan kotoran-kotoran hasil ternak di beberapa desa di Daerah Istimewa Yogyakakarta.
Kotoran sapi yang dihasilkan terkadang dibiarkan menumpuk begitu saja di kandang. Kotoran-kotoran sapi tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya. Akibatnya, timbul pencemaran udara karena bau dan muncul banyak vektor penyakit seperti lalat, cacing, kutu, caplak, tungau dan lain-lain.
“Seperti di Desa Giricahyo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul. Di wilayah ini mayoritas warga memelihara sapi potong sekaligus berkecimpung sebagai petani palawija, tapi sayang sistem pertanian terpadu ini belum diterapkan,” ujar Betty Sundari, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Kamis (9/6).
Sistem pertanian yang terintegrasi atau lebih sering disebut integrated farming, menurut Betty, merupakan sistem yang memadukan sektor pertanian dengan beberapa sektor lain, salah satunya adalah sektor peternakan. Contoh perpaduan ini berupa penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk serta menggunakan limbah pertanian sebagai pakan ternak.
“Mestinya dengan penerapan integrated farming ini akan lebih menguntungkan karena limbah masing-masing sektor dapat dimanfaatkan sebanyak-banyaknya,” papar Betty.
Ia pun lantas memperkenalkan pupuk organik pada masyarakat petani dan peternak. Bersama Nungki Fatimatuzzahra, Nur Awwalia Maulida, Annisa Rachma Damayanti, dan Muhammad Rosyed Ridho teman satu fakultas, ia pun berpraktik membuat pupuk organik di Desa Giricahyo.
Kelima mahasiswa UGM itu pun membuat pupuk organik alami dengan menggunakan dekomposer ramah lingkungan dari limbah rumah tangga seperti sisa sayuran dan buah-buahan. Sebelumnya, kelima mahasiswa mengadakan sosialisasi kepada warga setempat mengenai keunggulan pupuk organik alami dan cara pembuatannya, serta simulasi pembuatan dekomposer alami dari limbah rumah tangga.
Banyak warga Desa Giricahyo antusias terkait pembuatan pupuk ini. Mereka merasa sangat senang dengan program ini, disamping mampu menghasilkan pupuk, tingkat pencemaran akibat kotoran pun dapat berkurang.
“Semoga tidak ada lagi pencemaran dan hasil panen kami dapat meningkat karena penggunaan pupuk alami yang lebih aman ini,” ujar Edi Nurhidayat, selaku Dukuh Jambu, Desa Giricahyo, Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunung kidul.
Edi Nurhidayat mengaku hingga saat ini sudah terbentuk kelompok pelaksana pembuatan pupuk organik alami. Kegiatan yang dilakukan adalah pembuatan pupuk baru dan pengadukan pupuk di hari Minggu. (Humas UGM/ Agung)