Harga daging sapi di berbagai daerah di Indonesia saat ini masih tinggi. Melonjaknya harga daging sapi di bulan puasa dan menjelang lebaran disebabkan tingginya permintaan masyarakat terhadap kebutuhan daging. Untuk menekan harga daging, pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan pemberlakukan impor daging sapi. Kebijakan ini menurut penilaian Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof. Ali Agus, merupakan kebijakan jangka pendek namun tidak menyelesaikan persoalan di lapangan terkait minimnya pasokan daging sapi nasional. “Selama ini, tidak ada tambahan produksi populasi sapi. Hanya memindahkan sapi dari satu daerah ke daerah ,” kata Ali Agus kepada wartawan menanggapi meroketnya harga daging sapi, Jumat (10/6).
Menurut Ali Agus selama pemerintah hanya mengandalkan kebijakan impor daging beku atau bakalan hidup untuk menekan harga daging sapi di pasaran dan tidak melakukan kebijakan untuk menambah jumlah populasi sapi betina produktif maka harga daging sapi akan terus meninggi. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan impor bibit sapi hidup untuk menambah jumlah populasi sapi. “Minimal 200 ribu ekor sapi bibit lalu disebar, itu menambah populasi. Namun, saya kira itu tak mudah untuk mencapai 50 ribu saja nggak berhasil. Seharusnya pemerintah bisa melibatkan swasta,” ujarnya.
Ali Agus memaparkan jumlah populasi sapi nasional diperkirakan mencapai 12 juta ekor, jumlah tersebut sudah termasuk sapi produktif yang mencapai 5-6 juta ekor. Sementara untuk sapi siap potong hanya mencapi 2-3 juta per tahun. “Makanya saat ini 40 persen kebutuhan daging harus impor berupa daging beku atau sapi bakalan hidup,” katanya.
Untuk mengimpor 200 ribu ekor bibit sapi, menurut Ali Agus, pemerintah tidak harus bergerak sendiri namun melibatkan swasta yang selama ini mendapat izin melakukan impor sapi bakalan. Peraturan yang ada selama ini, imbuhnya, yaitu perusahaan importir sapi bakalan diharuskan membawa sapi betina produktif. “Pelaku swasta impor bakalan membawa sapi betina produktif minimal 10 persen. Pemerintah sebenarnya bisa memainkan perannya. Namun, aturan ini tidak pernah dijalankan,” ungkapnya.
Meski demikian, kata Ali Agus, memang tidak semua swasta mau menerapkan aturan ini karena memelihara sapi betina dari sisi bisnis tidak langsung untung karena besarnya biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan. Menurutnya, swasta bisa menyiasati hal tersebut dengan menggandeng petani peternak untuk bekerja sama hingga nantinya sapi tersebut dibeli kembali oleh perusahaan dalam bentuk pedet. “Di Lampung sudah ada perusahaan yang melakukan seperti itu,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)