Berawal dari kesulitan para mahasiswa untuk mengetahui suara abnormal detak jantung dan paru-paru saat diperiksa menggunakan stetoskop saat belajar praktik kebidanan, beberapa orang mahasiswa UGM mengembangkan stetoskop elektronik yang diberi nama Mediskop, singkatan dari Medical Electronic Stetoskop. Berbeda dengan stetoskop manual, stetoskop yang satu ini bisa merekam suara degup jantung dan suara nafas pasien di paru-paru. Bahkan, mediskop juga mampu merekam suara jantung janin pada ibu hamil.
Lima orang mahasiwa UGM yang mengembangkan alat perekam suara jantung ini, yakni Ayu Dwi Silvia Putri, Dionita Rani Karyono, Imah Nur Chasanah, ketiganya merupakan mahasiswa dari Prodi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran, lalu Muhammad Fadhil Ainuri dari Teknik Elektro Fakultas Teknik dan Abdullah Ibnu Hasan dari Prodi Elektronika dan Instrumentasi FMIPA UGM.
Ayu mengatakan stetoskop elektronik yang dikembangkan awalnya bertujuan sebagai alat peraga pendidikan untuk membantu mahasiswa calon dokter dan perawat mengenal bentuk suara abnormal detak jantung dan paru-paru saat memeriksa pasien dengan alat tersebut. Namun dalam perkembangannya, alat ini dikembangkan untuk bisa meneguhkan diagnosis penyakit pasien, apalagi data rekaman ini bisa diputar berulang-ulang dan menjadi bahan diskusi tenaga kesehatan. “Hasil dari rekam data itu bisa menjadi bahan diskusi antar tenaga kesehatan sebelum memberikan hasil diagnosis,” tutur Ayu Dwi Silvia Putri, Senin (13/6).
Ayu, demikian ia akrab disapa, mengatakan cara kerja Mediskop tidak menghilangkan dari peran dan fungsi stetoskop. Apalagi, alat ini masih menggunakan bagian penting dari stetoskop seperti ear piece, tube dan chest piece stetoskop. Tidak hanya itu, mediskop dilengkapi sebuah kotak mini berukuran 7×3 cm2 berupa rangkaian yang terdiri atas sound recorder, colokan kabel data USB, dan terdapat sambungan apabila ingin langsung didengarkan. “Bagi yang ingin mendengarkan langsung tinggal disambungkan ke spekaer,” katanya.
Imah Nur Chasanah mengaku awalnya mediskop sengaja didesain oleh mereka untuk membantu mahasiswa saat belajar praktik pemeriksaan fisik seorang pasien. Selama proses pembelajaran berlangsung, kata Ayu, mereka hanya mengandalkan hasil pemeriksaan dokter lewat stetoskop manual. “Tidak jarang dalam proses praktik kami hanya menggunakan boneka phantom,” katanya.
Dengan adanya kesulitan untuk membedakan suara normal dan abnormal dari jantung dan paru-paru tersebut akhirnya ide membuat stetoskop elektronik pun muncul. “Kita kesulitan untuk tahu suara abnormal seperti apa. Adanya Mediskop diharapkan membantu para mahasiwa dan bisa dipakai di klinik kesehatan maupun rumah sakit,” katanya.
Untuk membuat alat ini mereka menghabiskan biaya sebesar Rp150 ribu. Meski begitu, mediskop belum diproduksi massal karena masih terus dikembangkan dan akan dilengkapi monitor kecil yang menampilkan data grafis suara jantung dan paru-paru. (Humas UGM/Gusti Grehenson)